JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum DPR-DPRD Tahun 2019 (PHPU Legislatif 2019) di Ruang Sidang Panel I MK pada Senin (29/7/2019). Dalam sidang ini, Panel Hakim menggelar sidang PHPU DPR-DPRD bagi Provinsi Nusa Tenggara Timur, DKI Jakarta, dan Sulawesi Barat. Dalam perkara Nomor 195-05-11/PHPU-DPR.DPRD/XVII/2019 yang diajukan Partai Nasdem, Adnan selaku Saksi Pemohon yang merupakan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur menyampaikan keterangannya terkait pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) yang dilakukan PPLN Kuala Lumpur setelah diterimanya rekomendasi Bawaslu RI.
Pada awalnya, ujar Adnan, pengiriman surat suara gelombang pertama dilakukan pada 29 April dan 3 – 6 Mei 2019. Akibat adanya kendala teknis, pihak PPLN Kuala Lumpur menambah jadwal pengiriman surat suara melalui pos menjadi 7 – 9 Mei 2019. “Jadinya bertambah 3 hari. Oleh karena itu, bertambahnya waktu pengiriman surat suara ini sehingga berimbas sampainya surat suara ke pemilih,” terang Adnan di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman yang didampingi oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat.
Terkait peristiwa ini, tambah Adnan, ada usulan agar seluruh partai politik peserta Pemilu 2019 dikumpulkan untuk diberikan informasi mengenai penambahan batas waktu dan perubahan jadwal untuk penghitungan. Semula direncanakan akan digelar pada 15 Mei 2019 diubah menjadi 16 Mei 2019. Akan tetapi, 15 Mei 2019 malam, terdapat imbauan dari Bawaslu untuk tidak menghitung serta surat suara yang sampai pada saat hari penghitungan, yakni 16 Mei 2019. Hal ini berimbas sekitar 62 ribu surat suara yang sudah sampai tidak diperhitungkan dalam rekapitulasi penghitungan suara. “Ada sekitar 62.000-an surat suara yang sampai pada 16 Mei 2019 itu. Dan penghitungan baru dihentikan pada 17 Mei 2019. Jadi dari semua yang dihitung dari hasil PSU melalui pos itu,” terang Adnan.
Terkait dengan hal ini, Dedy Ramanta selaku Saksi Pemohon lainnya menambahkan, akibat hal ini terdapat dua jenis DA1 yang diterimanya, yakni DA1 yang disertai dengan penghitungan terhadap 62 ribu surat suara yang diterima melalui PSU, dan ada pula DA1 yang didalamnya terdapat angka yang telah dikurangi dengan 62 ribu surat suara yang diterima melalui PSU.
Kepastian Hukum
Untuk menguatkan dalil, Pemohon menghadirkan Dian Puji Simatupang yang merupakan Ahli Hukum Administrasi Keuangan memberikan keterangan bahwa terdapat ketentuan batas waktu penerimaan waktu khusus surat suara melalui pos dalam Pemilu 2019 yang terjadi di Kuala Lumpur. Menurutnya, penerimaan sebuah dokumen tidak berdasarkan pada waktu diterimanya sebuah dokumen, tetapi didasarkan pada tanggal stempel atau cap pos yang dibubuhkan petugas pengiriman.
“Pada praktik administrasi, adanya pengaturan penerimaan melalui tanggal cap pos ini sebenarnya dilakukan untuk kepastian hukum dan jika sudah ditetapkan itu diharapkan kemudian tidak menimbulkan permasalahan,” ujar Dian.
Stempel Pos
Lebih lanjut terhadap perkara a quo, Ketua Bawaslu RI Abhan dalam keterangannya, menyebutkan bahwa adanya rekomendasi PSU pada PPLN Kuala Lumpur setelah terjadinya berbagai masalah termasuk adanya dugaan independensi lembaga penyelenggara pemilihan umum. Atas dasar itu, tambah Abhan, pihaknya menerima surat dari Komisi Pemilihan Umum (Termohon) per 13 Mei 2019 bahwa akan dilaksanakannya tahapan PSU melalui pos. Pada intinya, Termohon menyatakan tahapan batas pengiriman pos semula dari 6 Mei menjadi 9 Mei 2019 dan batas penerimaan surat suara pos yang semula 13 Mei menjadi 15 Mei 2019.
“Tidak ada catatan tentang stempel pos dan sebagainya. Pada pelaksanaannya bahwa penghitungan semula 15 Mei menjadi 16 Mei. Kemudian atas dasar itu, pada 16 Mei 2019 dilakukan rekapitulasi dan ada keberatan-keberatan dari partai politik karena yang dihitung hanya surat suara dengan ketentuan batas waktu 15 Mei 2019 itu,” jelas Abhan terkait perkara PHPU DPR-DPRD Provinsi DKI Jakarta tersebut.
Kerumitan Rekapitulasi
Dalam sidang yang sama, Panel Hakim I juga mendengarkan keterangan dari perkara Nomor 174-04-11/PHPU-DPR.DPRD/XVII/2019 yang diajukan Partai Golkar dalam PHPU DPR-DPRD Provinsi DKI Jakarta. Pemohon menghadirkan Bambang Eko Cahyo yang menjelaskan mengenai adanya ketidaksesuaian dalam rekapitulasi perolehan suara yang dilakukan Termohon. Menurutnya, proses penghitungan suara pemilu serentak memiliki potensi terjadinya berbagai kesalahan, seperti penentuan suara sah, suara tidak sah, dan berbagai kesalahan penghitungan manual lainnya. Meski sudah diawasi pihak pemantau, jelas Bambang, masalah yang selalu timbul adalah perihal pemungutan dan penghitungan suara.
“Masalah pengendalian terhadap penghitungan suara secara masif sebenarnya tidaklah perkara mudah. Dibutuhkan daya tahan tubuh dari berbagai phak yang menyelenggarakan kegiatan dalam penyalinan dari formulir C1 ke DAA1 yang dimulai dari TPS, Kelurahan, Kecamatan, dan penyalinan (formulir) DA1 ke (formulir) DA1 Plano. Dan segala kerumitan itu bermula dari jumlah parpol dan caleg yang banyak,” ujar Bambang.
Diakui Bambang bahwa proses rekapitulasi di PPK, pada dasarnya telah mengikuti langkah-langkah dalam ketentuan rekapitulasi yang meliputi proses yang rumit dalam penyalinannya. Proses panjang ini, memaksa proses rekapitulasi dilakukan secara paralel untuk mengatasi tekanan waktu. “Inilah yang pada akhirnya mengorbankan keakuratan penghitungan. Belum lagi pendatangan saksi dan Panwas saat proses menghitung,” tegas Bambang.
Surat Suara Rusak
Dalam sidang yang sama, Panel Hakim I juga menggelar sidang perkara Nomor 100-19-19/PHPU-DPR.DPRD/XVII/2019 yang diajukan Partai Bulan Bintang dalam PHPU DPR-DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemohon menghadirkan M. Abdullah selaku saksi mandat partai di Kecamatan Alor Barat Laut yang menyampaikan telah terjadi kesalahan masukan data pada formulir C1 dan DA1 yang berbeda pada beberapa desa, di antaranya di Desa Pulau Buaya.
Terkait hal ini, Muhajir Usman mewakili termohon menyampaikan tidak benar jika adanya perubahan dan perbedaan dari formulir C1 dan DA1 seperti yang disampaikan Saksi Pemohon. Untuk TPS 05 Desa Pulau Buaya misalnya, jelas Muhajir, setelah melakukan rekomendasi Panwas maka pihaknya menemukan tumpukan surat suara yang rusak. Atas temuan ini, maka jumlah jumlah suara sah pada TPS tersebut adalah 156 suara sah dan terdapat 5 surat suara dan bukan 4 surat suara yang rusak. “Jadi pada TPS 05 itu ada 1 surat suara yang nama dan lambang parpol dicoblos bersamaan, namun surat suara ini sah ini dianggap untuk partai dan caleg. Seharusnya itu hanya perolehan suara untuk caleg saja, maka setelah kami uji (formulir) C1-nya akhirnya dikoreksi. Maka PSU-nya yang awalnya PBB mendapatkan 2 suara menjadi 1 suara,” ujar Muhajir.
Kesalahan Jumlah
Sementara terkait perkara Nomor 187-05-28//PHPU-DPR.DPRD/XVII/2019 yang diajukan oleh Partai Nasdem dalam PHPU DPR-DPRD Provinsi Sulawesi Barat, Ketua Bawaslu Sulawesi Barat Sulfan Sulo menyampaikan keterangan terkait dengan adanya permasalahan perolehan suara Pemohon dengan PDIP pada Dapil Pasangkayu 2. “Setelah dilakukannya pemeriksaan oleh KPPS dan saksi partai politik lainnya, maka perolehan suara dari 26 ke 25 tersebut adalah kesalahan jumlah suara partai saja,” lapor Sulfan.
Selain mendengarkan keterangan Saksi dan Ahli dari perkara tersebut, Panel Hakim I juga menggelar sidang perkara Nomor 39-13-19/PHPU-DPR.DPRD/XVII/2019 yang diajukan oleh Partai Hanura dan perkara Nomor 120-12-19/PHPU-DPR.DPRD/XVII/2019 yang diajukan oleh Partai Amanat Nasional terhadap PHPU DPR-DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di samping itu, Panel Hakim I juga menggelar sidang perkara Nomor 82-03-28/PHPU-DPR.DPRD/XVII/2019 yang diajukan oleh Partai Demokasi Indonesia Perjuangan, perkara Nomor 177-04-28/PHPU-DPR.DPRD/XVII/2019 yang diajukan oleh Partai Golkar, dan perkara Nomor 38-13-28/PHPU-DPR.DPRD/XVII/2019 yang diajukan oleh Partai Hati Nurani Rakyat dalam sidang PHPU DPR-DPRD Provinsi Sulawesi Barat.
Sebelum menutup persidangan, Anwar menyampaikan semua pihak yang berperkara diharapkan menunggu jadwal persidangan selanjutnya dari Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)