Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Anggota DPD untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Kamis (25/7/2019). Sidang Panel 3 dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Wahiduddin Adams tersebut, beragendakan mendengar keterangan saksi dan ahli dari Pemohon dan Pihak Terkait, serta saksi Termohon.
Sebelumnya Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 2019 -2024 Farouq Muhammad dalam perkara Nomor 03-18/PHPU-DPD/XVII/2019 mempersoalkan masalah editan foto saingannya, Evi Apita Maya, dalam kertas suara.
Tindakan yang dilakukan Evi menurut Pemohon telah mempengaruhi masyarakat untuk memilih Evi saat pencoblosan. Evi pun lolos menjadi anggota DPD dengan suara terbanyak sebesar 283.932. Padahal Evi diduga tidak maksimal dalam kampanye di daerah terpencil.
Pemohon menuduh Evi melanggar Pasal 65 ayat (1) huruf j Peraturan KPU RI Nomor 30 Tahun 2018. Isi aturannya mengenai penggunaan foto lama lebih dari 6 bulan.
Selain foto Evi, Pemohon juga mempermasalahkan foto saingan lainnya yakni Lalu Suhaimi Ismy. Pemohon menyebut Suhaimi memakai foto lama yang sama dengan saat dia maju DPD periode 2014-2019.
Ahli yang dihadirkan Pemohon, Priyadi Sufianto menyebutkan dalam fotografi ada tiga kacamata untuk memandang sebuah foto. Pertama, secara jurnalistik yang bersifat obyektif. Kedua, secara komersial yang bisa obyektif maupun subyektif. Ketiga, seni foto yang bersifat subyektif.
Adapun pengubahan foto dalam dunia fotografi terdiri dari dua yakni edit dan retouch. “Kedua hal ini diperbolehkan. Yang tidak boleh adalah manipulasi foto,” tegasnya.
Melihat foto Pihak Terkait (Evi Apita Maya), kata dia, ini termasuk manipulasi. Sebab sudah mengubah secara total foto asli. Hal ini dia dapatkan saat mengkomparasi dua foto yang ada.
Sedangkan saksi Pemohon, Oni Husain Al Jufri menyebut ada penggelembunagn suara. Dirinya mengetahui ini melalui bukti fisik kopian C1 dan DAA1 Desa Praya. Hal ini dia dapatkan dari timses di tingkat bawah. “Atas hal ini kami melaporkan ke Bawaslu tingkat Provinsi,” tegasnya.
Namun, kata dia, laporan yang ada dianggap kedaluwarsa. Padahal sudah ada rencana dari Bawaslu untuk memanggil saksi terkait hal ini. “Jadi permohonan pertama masuk. Lalu mereka menyuruh kami membuat laporan baru. Namun ujung-ujungnya keduanya dianggap kadaluwarsa,”tegasnya.
Saksi Pemohon lainnya Fahrudien mengungkapkan adanya pembagian sembako dari Pihak Terkait. Ini dilakukan tanggal 5 Agustus 2018 setelah gempa Lombok. “Kami diberi beras, mie instan, sembako, telur, dan terpal,” jelasnya. Pemberian dilakukan oleh orang suruhan Pihak Terkait. Adapun Pihak Terkait ada juga saat pemberian sembako tersebut.
Sementara ahli Pihak Terkait, Juanda menyatakan permohonan yang diajukan tidak berdasar. Sebab tidak ada ketentuan dalam UU yang melarang adanya edit foto. Selain itu tidak ada korelasi signifikan mengedit foto dengan perolehan suara yang didapatkan Pihak Terkait. “Pemohon setidaknya harus menghadirkan pemilih minimal 50 persen yang memilih Pihak Terkait. Kemudian membuktikan bahwa mereka memilih karena alasan Pihak Terkait memiliki foto yang cantik. Ini jelas pembuktian hukum yang sulit,” tegasnya.
Juanda kemudian menyebut tidak ada otoritas yang berhak menilai suatu foto adalah manipulasi atau tidak. Menurutnya hanya pengadilan yang berhak memiliki otoritas tersebut. “Jika ada pihak lain di luar itu, saya menganggap semuanya adalah asumsi semata,” jelasnya.
Adapun Saksi Termohon M. Saihun Masri menolak tuduhan adanya penggelembungan suara. Dirinya merupakan PPK Kecamatan Kopang Kabupaten Lombok Tengah. “Saat rapat pleno tidak ada keberatan sama sekali. Bahkan saksi Pemohon tidak hadir saat itu.
Selain sidang tersebut, Panel 3 juga menggelar sidang untuk perkara Nomor 94-19-18/PHPU.DPR.DPRD/XVII/2019 yang diajukan Partai Bulan Bintang (PBB) dan perkara Nomor 191-05-18/PHPU.DPR.DPRD/XVII/2019 yang diajukan Partai Nasional Demokrat (NasDem). (Arif Satriantoro/NRA/RD).