JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR- DPRD 2019 (PHPU Legislatif 2019), pada Kamis (18/7/2019). Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku Termohon dalam sidang ini menjawab tudingan adanya kesalahan rekapitulasi di Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) yang dituduhkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Wahiduddin Adams tersebut beragendakan mendengar jawaban Termohon, Pihak Terkait, dan Bawaslu untuk Provinsi Kalimantan Barat.
Sebelumnya, PKS dalam perkara Nomor 01-08-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 mempersoalkan suara untuk Dapil 2 Kubu Raya terkait kursi untuk DPRD Kabupaten. Pemohon mengklaim mendapat 3.225 suara. Sedangkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendapat 3.116 suara. PKS mengkritisi jumlah suara di dua desa, yakni Desa Madu Sari dan Desa Sungai Asam. Di dua desa tersebut, PKS menuding terdapat kesalahan rekapitulasi karena penghitungan suara Termohon tidak sesuai dengan C1 milik Pemohon. Seharusnya PKS mendapat 556 suara di Desa Madu Sari dan 342 suara di Desa Sungai Asam. Sementara PPP mendapat 524 suara di Desa Madu Sari dan 1.182 suara di Desa Sungai Asam. Pemohon mengklaim berhak mendapatkan kursi ke-5 DPRD Kabupaten Kubu Raya dan bukan didapatkan PPP.
Menanggapi hal ini, KPU yang diwakili oleh Dedy Mulyana menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Hal ini dikarenakan Deviyanti Dwiningsih selaku kuasa hukum PKS tidak melampirkan surat kuasa dari Pemohon.
Di sisi lain, Dedy menyebut permohonan dan dalil yang disangkakan PKS mengenai pelanggaran bersifat kasuistis, sporadis, dan tidak berkorelasi signifikan dengan perolehan hasil suara. Sementara itu, Bagus Setiawan mewakili PPP selaku Pihak Terkait menyatakan permohonan Pemohon tidak jelas atau obscuur libel. Lalu, PPP dalam petitumnya, meminta agar MK menolak permohonan PKS untuk seluruhnya.
Sementara Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dalam perkara Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 mempermasalahkan sengketa internal antar Caleg Gerindra, terkait suara di Dapil Kalbar 1 untuk kursi DPR RI. Caleg yang bersengketa adalah Katherine dan Yusid Toyib. Pemohon mengklaim Katherine mendapat 35.764 suara dan Yusid Toyib mendapat 35.610 suara. Namun Termohon justru menetapkan Khaterine 35.242 suara dan Yusid Toyib mendapat 36.030 suara.
Selain itu, Pemohon juga mempersoalkan suara di Dapil Kalbar 6 untuk kursi DPRD Provinsi Kalbar atas nama Hendri Makalau. Pemohon mestinya mendapat 5.386 suara, namun Termohon menetapkan suara Pemohon hanya 5.325 suara.
Menanggapi hal ini, Dedy Mulyana juga menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena persoalannya terkait sengketa caleg internal. “Pemohon dalam perkara sengketa internal caleg seharusnya perseorangan. Bukan justru dari partai politik,” tegasnya.
Kemudian, kata Dedy, jika partai politik ingin menyelesaikan sengketa internalnya, maka itu bukan dilakukan di MK, namun menjadi urusan rumah tangga partai politik tersebut. Bisa saja jika ingin dimajukan ke MK, tetapi Pemohonnya mesti dari perseorangan.
Dalam sidang tersebut, Panel Hakim juga mendengarkan jawaban Termohon, Pihak Terkait, serta keterangan Bawaslu untuk perkara dari Kalimantan Timur (Kaltim). Sidang untuk Provinsi Kalbar selain dua perkara di atas, yakni perkara Nomor 15-01-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 atas nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), perkara Nomor 134-09-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 atas nama Partai Persatuan Indonesia (Perindo), serta perkara Nomor 58-14-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 untuk Partai Demokrat. (Arif Satriantoro/LA/RD)