JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD 2019 (PHPU Legislatif 2019) untuk Provinsi Maluku Utara, pada Senin (15/7/2019). KPU selaku Termohon, Pihak Terkait, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hadir untuk memberikan jawaban atas dalil Pemohon. Sidang Panel III ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Wahiduddin Adams.
Sebelumnya, Tjatur Sapto Edy selaku Pemohon perkara Nomor 01-32/PHPU-DPD/XVII/2019 mengklaim dirinya memperoleh sebesar 42.863 suara. Namun Termohon justru menetapkan suara Mantan Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut hanya sebesar 32.315 suara. Dirinya menuding ada penggelembungan suara yang menyebabkan ia tidak dapat lolos menjadi Anggota DPD RI. Tjatur mendalilkan kehilangan suara itu terjadi di Kabupaten Halmahera Utara, Halmahera Barat, Halmahera Tengah, serta Kabupaten Kepulauan Morotai. Pihaknya pun meminta MK menetapkan perolehan suara Pemohon sebesar 42.863 suara. Di sisi lain, Pemohon juga meminta MK memerintahkan KPU untuk melakukan perhitungan suara ulang (PSU) di empat daerah tersebut.
Menanggapi permohonan tersebut, Yahya Tulus selaku kuasa hukum KPU menyatakan Pemohon tidak dapat memaparkan secara terperinci kesalahan hasil perhitungan suara versi Termohon. Di sisi lain, Pemohon tidak dapat menunjukkan rincian suara yang benar menurut versi Pemohon. “Kami berpandangan permohonan Pemohon kabur atau obscuur libel,” jelasnya.
Ace Kurnia selaku kuasa hukum Caleg DPD Maluku Utara lainnya, Namto Roba menyatakan hal serupa. Ia menjelaskan bahwa permohonan Pemohon kabur atau obscuur libel. “Posita dan Petitum tidak saling berkorelasi,” jelasnya.
Pemohon, kata Ace, meminta adanya perhitungan suara ulang (PSU) di Kabupaten Halmahera utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Halmahera Barat, dan Kepulauan Morotai. Akan tetapi, Pemohon tidak menjelaskan alasan dalam posita mengenai diperlukannya pemungutan suara ulang.
Kuasa Hukum Pihak Terkait lain yang mewakili Chaidir Djafar menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Hal ini karena Pemohon tidak dapat menjelaskan bagaimana suaranya bisa berkurang dari 42.158 suara menjadi 40.572 suara. “Atas dasar ini kami memandang permohonan kabur atau obscuur libel,” tegasnya.
Sementara calon anggota DPD Ikbal Djabid dalam perkara Nomor 02-32/PHPU-DPD/XVII/2019 mempermasalahkan pemilih yang tidak berhak memilih, namun menggunakan hak pilih di TPS. Selain itu, dirinya mengklaim ada perusakan dan penghilangan surat suara oleh KPPS. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan surat suara yang tak sesuai dengan jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih. Kejadian ini, kata Pemohon, terjadi di Kota Ternate, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Halmahera Utara. Untuk itu, Pemohon meminta di daerah tersebut dilakukan PSU.
Jelferik Sitanggang selaku kuasa hukum KPU menyatakan Pemohon sebelumnya tidak pernah menyatakan penolakan pada hasil rekapitulasi perhitungan suara di seluruh TPS. Dia juga menegaskan jika Pemohon tidak dapat menunjukkan sisi kesalahan proses perhitungan suara yang telah dilakukan Termohon. “Atas hal ini, kami meminta MK menolak atau setidaknya permohonan pemohon tidak dapat diterima,” jelasnya.
Sementara Pihak Terkait yang diwakili oleh Chaidir Djafar sempat juga membacakan jawaban Termohon melalui Abdul Jabbar selaku kuasa hukum. Namun Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyatakan jawaban untuk Pihak Terkait paling lambat dimasukkan dua hari sebelum sidang pembacaan permohonan Pemohon.
Dalam sidang tersebut juga digelar sidang untuk perkara Nomor 18-01-32/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 untuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Perkara Nomor 142-20-32/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), serta Perkara Nomor 201-05-32/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 untuk Partai Nasdem. (Arif Satriantoro/LA/RD)