JAKARTA, HUMAS MKRI - Partai Amanat Nasional (PAN) mengajukan diri sebagai Pihak Terkait di Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif 2019. Mereka mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK), pada Jum’at (5/7/2019) siang.
Slamet Arifin selaku kuasa hukum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PAN menyatakan perkara ini untuk Dapil 3 Jakarta dengan Pemohon adalah Partai Golongan Karya (Golkar).
“Mereka mendalilkan jika Golkar seharusnya mendapatkan suara sekitar 80 ribuan dan PAN mendapat 119 ribuan. Padahal suara PAN sudah benar di angka 129 ribuan,” tegas Slamet. Hal ini, kata dia, terkait dengan C1 yang tak sesuai dengan DA1.
Slamet menyebut ini berpengaruh pada PAN, dalil yang diajukan Pemohon berpotensi membuat perolehan suara PAN menurun. Karena hal ini, pihaknya mengajukan diri ke MK menjadi Pihak Terkait, yakni sesuai dengan langkah konstitusional yang dijamin negara.
Perkara ini, kata Slamet, menyangkut suara partai dan bukan perorangan caleg. Meski merupakan perkara partai, namun berefek pada caleg yang ada.
Slamet mengaku optimistis jika permohonan dari Golkar tidak akan menang di MK. “Sejauh ini proses di Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah berjalan sebagaimana mestinya. Begitu juga tidak ada laporan kecurangan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu),” jelasnya. Apalagi saksi Pemohon juga turut tandatangan pengesahan hasil suara. Artinya itu adalah pengakuan atas hasil suara yang diperoleh Golkar.
Di waktu bersamaan, MK juga menerima permohonan menjadi Pihak Terkait untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) atas nama Lalu Suhaimi Ismi dan Evi Avita Maya. Mereka hadir diwakili Yudian Sastrawan selaku kuasa hukum.
Dalam kasus ini, kata Yudi, Pemohon adalah Farouk Muhammad. Yudi menyebut Pemohon mempermasalahkan persoalan administratif. Hal tersebut baginya bukan ranah kewenangan MK, sebab MK fokus dalam hasil perselisihan suara. “Permasalahan administratif berada di domain Mahkamah Agung (MA) dan Bawaslu,” tegasnya.
Dengan demikian, kata Yudi, pihaknya mengaku optimistis dapat menang di MK. Sebab permohonan yang ada tidak memiliki dasar yang kuat. Meski demikian, pihaknya menghormati langkah hukum Pemohon sebab hal itu dijamin undang-undang (UU) dan Konstitusi. (Arif Satriantoro/LA).