JAKARTA â Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengkritik pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat karena mengalihkan penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah dari MA ke Mahkamah Konstitusi. Bagir menilai pemindahan penyelesaian sengketa ini tanpa alasan jelas.
"Ada kecenderungan pembuat undang-undang melimpahkan kewenangan ke Mahkamah Agung sehingga fungsi Mahkamah Agung bertambah," kata Bagir di MA kemarin. "Tapi, kalau tidak senang, wewenang itu dipindah, contohnya pilkada."
Bagir mengatakan pemindahan kewenangan peradilan harus dipikir matang terlebih dulu. "Jangan di tengah jalan dipindahkan, dari asas peradilan tidak boleh peradilan ditarik-tarik begitu," ujarnya. Dalam negara hukum, kata Bagir, undang-undang harus stabil agar ada kepastian hukum. "Tapi ini setiap tahun diubah lagi, diubah lagi."
Seperti diberitakan, revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan waktu paling lambat 18 bulan untuk peralihan penanganan sengketa pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie siap menangani.
Menanggapi hal ini, Bagir menegaskan aturan pengalihan sengketa pilkada sangat aneh. "Tidak boleh rumusan undang-undang begitu, paling lambat atau paling lama," ujarnya. Seharusnya, kata Bagir, dalam aturan peralihan perkara baru ditangani Mahkamah Konstitusi. Sedangkan perkara hasil pilkada yang sudah di Mahkamah Agung diselesaikan di Mahkamah Agung.
Namun, Bagir menyarankan perkara pilkada yang baru dilimpahkan ke Mahkamah Konstitusi. "Ketua Mahkamah Konstitusi mengatakan sudah siap. Kalau sudah siap, ya, pindahkan saja. Kenapa menunggu lama-lama?" kata dia.
Kepada Tempo, Jimly mengatakan Mahkamah Konstitusi memang siap menangani perkara sengketa hasil pilkada. "Tapi kami kan tidak bisa begitu saja tanpa ada aturan," ujarnya. Pemerintah, kata Jimly, bisa saja membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengalihkan sengketa pilkada ini ke Mahkamah Konstitusi. "Tapi alasan mendesaknya apa?"
Jimly sependapat dengan Bagir yang mengkritik ketentuan peralihan sengketa pilkada ini. Menurut dia, dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah tidak secara tegas diatur peralihan tersebut. "Memang aturannya ngaco," ujarnya. "Seharusnya ada ketentuan yang jelas yang mengatur peralihan."
Jimly menyarankan Mahkamah Agung tetap menangani sengketa hasil pilkada hingga Oktober 2008. Sebab, setelah Oktober 2008 sudah tidak ada lagi pemilihan kepala daerah. Setelah itu, kata Jimly, baru Mahkamah Konstitusi yang menangani perkara pilkada. ⢠SUTARTO
Sumber: HU Koran Tempo / Rabu, 9 April 2008
Foto: www.indonesia-1.com