Ada yang langsung menyebut tempat pengambilan sumpah. Ada pula yang menyebut menurut agama dan kepercayaannya.
Kritik Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan terhadap rumusan mekanisme pelantikan dan pengambilan sumpah anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) patut mendapat perhatian. Bisa jadi ada kekeliruan pembuat undang-undang dalam merumuskan ketentuan pengambilan sumpah. Bawaslu, kata Bagir, menjalankan tugas-tugas administrasi negara, sehingga selayaknya diambil sumpahnya oleh pejabat pemerintahan, misalnya Menteri Dalam Negeri.
Didik Supriyanto, mantan anggota Panwaslu 2004, menjelaskan bahwa dulu anggota Panwaslu dilantik dan diambil sumpahnya oleh Ketua KPU. Sebab, pada saat itu, Panwaslu memang dibentuk dan menjadi bagian dari KPU. Badan ini sekedar bertugas membantu KPU mengawasi penyelenggaraan pemilu.
Kini, melalui UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, selain berganti nama menjadi Bawaslu, badan ini menjadi lembaga mandiri. Sebagai badan mandiri, mekanisme pengambilan sumpah anggota Bawaslu juga berubah. Berdasarkan pasal 98 ayat (2) Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu, anggota Bawaslu diambil sumpahnya di gedung KPU oleh hakim agung. Perubahan-perubahan itu sebenarnya ditujukan untuk memperkuat Bawaslu. Semangatnya adalah memperkuat posisi dan fungsi Bawaslu, ujar Didik Supriyanto.
Tetapi bagi Bagir Manan, mekanisme pengambilan sumpah anggota Bawaslu layak dipersoalkan. Bukan lantaran Bagir enggan melantik, melainkan karena rumusan UU Penyelenggaraan Pemilu yang ganjil dan kurang bagus. Setidaknya ada dua frase yang dikritik Bagir dalam pasal 98 tersebut, yaitu penentuan tempat pelantikan di kantor KPU, dan frase hakim agung. Didik juga tidak menepis rumusan tadi berpotensi menimbulkan masalah.
Mari kita tengok rumusan sejenis dalam peraturan perundang-undangan lain. Kalau seorang pejabat dilantik dan diambul sumpahnya oleh Mahkamah Agung, maka rumusan yang dipakai bukan hakim agung, melainkan Ketua Mahkamah Agung. Dalam konteks ini, Ketua MA bertindak atas nama lembaga. Misalnya, pengambilan sumpah Kepala dan Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pasal 22 ayat (1) UU No. 15/2002 sebagaimana diubah dengan UU No. 25/2003 menegaskan bahwa kepala dan wakil kepala PPATK diambil sumpahnya menurut agama dan kepercayaannya di hadapan Ketua Mahkamah Agung.
Rumusan yang sama dapat ditemukan pada pasal 42 UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur wajib mengucapkan sumpah atau janji di hadapan Ketua Mahkamah Agung.
Rumusan menggunakan frase di hadapan juga ditemukan pada pelantikan Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sesuai amanat UU No. 30/2002, pelantikan mereka dilakukan di hadapan Presiden Republik Indonesia. Demikian pula pelantikan anggota Komisi Yudisial (pasal 30 UU No. 22/2004) dan hakim konstitusi (pasal 21 ayat 2 UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi).
Lain lagi rumusan pengambilan sumpah atau janji anggota DPR dan DPD. Undang-Undang No. 22/2003 menegaskan, sumpah/janji mereka secara bersama-sama dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam Rapat Paripurna masing-masing kedua Dewan.
Dengan demikian, ada yang menggunakan rumusan Ketua Mahkamah Agung, ada yang memakai hakim agung. Pasal 9 ayat (2) UUD 1945 malah menggunakan rumusan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung ketika menegaskan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden jika MPR dan DPR tidak dapat mengadakan sidang.
Dalam kasus pengambilan sumpah anggota DPR dan DPD, pembuat undang-undang langsung menentukan tempat pengambilan sumpah, yaitu di tempat Rapat Paripurna berlangsung. Demikian halnya dengan pengambilan sumpah/janji anggota Bawaslu yang dilakukan di kantor KPU.
Calon pejabat yang akan dilantik pada dasarnya mengucapkan sumpah/janji sesuai agama yang dianutnya. Sebagian besar perundang-undangan di atas menyebutkan demikian. Yang agak berbeda adalah rumusan pengambilan sumpah Kepala dan Wakil Kepala PPATK, dimana ditambahkan kata kepercayaan.
Ada kecenderungan, pengucapan sumpah pejabat yang jumlahnya banyak dilakukan secara bersama-sama seperti pelantikan anggota DPR dan DPD. Anggota Komisi Yudisial juga wajib mengucapkan sumpah atau janji secara bersama-sama. Namun kewajiban kebersamaan itu tak dirumuskan secara tegas untuk Gubernur, Deputi Gubernur Senior dan Deputi Gubernur Bank Indonesia.
(Mys)
Sumber www.detik.com
Foto www.google.co.id