PALEMBANG, HUMAS MKRI - Meskipun MKRI merupakan mahkamah konstitusi termuda, namun putusan-putusan MKRI menjadi rujukan bagi mahkamah konstitusi negara lain dan institusi sejenis di dunia. Hal ini disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menjadi pembicara dalam kuliah umum yang berjudul “Mengawal Pemilihan Umum Serentak 2019 dalam Bingkai Konstitusi Bernegara" pada Jum’at (18/1/2019) di Universitas Sriwijaya, Palembang.
Dalam kesempatan tersebut, Anwar menyampaikan mengenai kewenangan MK berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kewenangan tersebut, yakni menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil Pemilihan Anggota Legislatif dan Pilpres.
Anwar memisalkan kewenangan MK dalam memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang dijamin oleh UUD 1945. Semisal, Presiden tiba-tiba mengeluarkan putusan kasasi yang seharusnya adalah kewenangan milik Mahkamah Agung, maka MK yang berhak memutus sengketa ini. “Jika dilihat, kewenangan MK memang luar biasa karena memang Konstitusi yang mengatur seperti itu,” ujarnya.
MK, lanjut Anwar, memiliki kewenangan untuk membubarkan partai politik. Pada masa Orde Lama, Pemerintah dapat langsung membubarkan sebuah parpol yang dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Padahal seharusnya pembubaran parpol dilakukan melalui proses pengadilan. “Sekarang tidak bisa lagi seorang presiden membubarkan parpol. Yang bisa melakukan pembubaran itu adalah Mahkamah Konstitusi,” urainya.
Kemudian, Anwar melanjutkan satu kewajiban, yakni memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeachment). Jika dulu yang bisa melakukan pemakzulan terhadap presiden/wakil presiden bisa dilakukan oleh MPR. Tapi kini harus melalui MK dengan syarat 2/3 Anggota DPR berpendapat bahwa presiden/wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan atau pendapat Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
Dalam acara yang dihadiri oleh sejumlah mahasiswa tersebut, hadir pula Wakil Rektor II Universitas Sriwijaya Mohammad Zulkarnain, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Febrian, serta Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Abdullah. (Agung. S/LA)