Setelah pasal karet yang mengancam kebebasan pers dihapus, aturan serupa justru muncul lagi. Aturan itu termuat dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang belum lama disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang ini akan segera memakan "korban" jika tidak segera diubah lewat uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Secara keseluruhan, Undang-Undang Informasi sebenarnya cukup canggih. Semua hal yang berkaitan dengan informasi dan transaksi elektronik diatur terperinci, mulai soal tanda tangan digital sampai hukuman bagi para peretas jaringan komputer alias hacker. Sayangnya, undang-undang ini ternoda dengan hadirnya pasal-pasal yang bisa memberangus kebebasan berpendapat.
Ambil contoh Pasal 27 ayat 3 yang mengatur ihwal penghinaan atau pencemaran nama baik lewat distribusi dokumen elektronik secara sengaja. Orang yang melakukan hal itu bisa dihukum penjara enam tahun atau denda Rp 1 miliar. Ini mengerikan karena aturan multitafsir dan bisa ditarik-ulur sesuai dengan kepentingan "orang kuat".
Hukuman yang sama juga mengancam orang yang menyebarkan kebencian. Seperti disebutkan dalam Pasal 28 ayat 2, mereka adalah orang yang dengan sengaja "menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku agama ras dan antargolongan".
Aturan itu bisa menjerat siapa pun yang membuat berita "daring" atau online. Sasaran tembak aturan ini bukan cuma blogger, tapi juga pembuat berita dari media-media konvensional, seperti koran dan majalah, yang menayangkan berita mereka secara daring.
Jika diamati dengan jeli, aturan itu mirip pasal menyatakan kebencian di muka umum terhadap pemerintah (Pasal 154 KUHP) dan menyiarkan kebencian terhadap pemerintah (Pasal 155 KUHP). Bedanya, yang diatur dalam UU Informasi hanya kebencian terhadap individu atau golongan.
Pemerintah boleh saja berkata aturan itu "tidak dibuat dengan motivasi mengekang pers". Tapi siapa yang menjamin pasal tersebut tak disalahgunakan? Tidak hanya individu atau golongan yang mungkin menyalahgunakan, pemerintah pun bisa memakai pasal itu untuk memberangus pers.
Itu sebabnya pasal kebencian dalam KUHP dihapus oleh Mahkamah Konstitusi karena cenderung diselewengkan. Begitu pula pasal mengenai penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Semua pasal karet itu dinilai bertentangan dengan kebebasan menyatakan pendapat yang dijamin oleh konstitusi.
Sungguh aneh jika aturan serupa muncul lagi dalam Undang-Undang Informasi dan diloloskan begitu saja oleh DPR. Soalnya bukan hanya kebebasan berpendapat yang terusik, kebebasan pers pun kini terancam lagi. Wartawan akan menjadi sangat berhati-hati menurunkan beritanya secara online. Sebab, setiap saat is bisa dihukum penjara jika dianggap menyebarkan kebencian terhadap orang atau kelompok lain.
Demi menghapus kekhawatiran itu, upaya mengubah undang-undang tersebut lewat uji materi perlu segera dilakukan. Peluang terbuka lebar karena sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah menunjukkan keberaniannya menghapus pasal-pasal lentur yang mengancam kebebasan pers.
Sumber: HU Koran Tempo / Rabu, 9 April 2008
Foto: http://kippas.wordpress.com