JAKARTA, HUMAS MKRI - Para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Sumatera Utara (Sumut) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (25/4/2019). Kedatangan rombongan mahasiswa disambut Peneliti MK Oly Viana Agustine yang menyampaikan materi “Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945”. “Apa yang dimaksud penafsiran konstitusi? Kenapa perlu adanya penafsiran konstitusi,” kata Oly saat mengawali pertemuan.
Oly menerangkan, penafsiran konstitusi dibutuhkan untuk menjawab berbagai persoalan sesuai perkembangan zaman. Karena konstitusi tidak sepenuhnya bisa menjawab bermacam persoalan yang terjadi di masyarakat. “Oleh sebab itu diperlukan penafsiran konstitusi. Konstitusi Jerman saja yang dikenal sangat detail, tetap saja perlu penafsiran konstitusi oleh MK Federal Jerman,” imbuh Oly.
Oleh sebab itu, sambung Oly, Hakim MK dalam memeriksa perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 diperbolehkan melakukan penafsiran konstitusi.
Oly melanjutkan, penafsiran konstitusi terbagi beberapa jenis dari sejumlah ahli. Dikatakan Oly, meskipun ada beragam metode penafsiran konstitusi, tetapi Hakim MK tidak diwajibkan untuk menggunakan satu metode penafsiran saja atau sejumlah metode penafsiran.
“Tidak ada dalam satu aturan di Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman maupun Undang-Undang Dasar 1945 yang mewajibkan hakim untuk menggunakan metode penafsiran tertentu. Hakim bebas memilih metode interpretasi konstitusi karena mereka memiliki independensi. Masing-masing Hakim MK diberikan kebebasan menggunakan metode interpretasi konstitusi untuk membentuk putusan yang komprehensif,” urai Oly.
Pada pertemuan itu, Oly juga menjelaskan sejarah terbentuknya MK di Indonesia. Bermula dari amandemen UUD 1945 yang dilakukan empat tahap, mulai tahun 1999 hingga 2002. Amendemen UUD 1945 membawa perubahan besar bagi lembaga-lembaga negara di Indonesia. MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, namun kedudukannya setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya seperti dengan MK, MA, DPR, Presiden dan lainnya.
Selanjutnya, dibentuklah MK Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003, seiring terbentuknya UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 disebutkan kewenangan MK yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Tujuan dilakukan uji undang-undang adalah untuk melindungi hak warga negara dari undang-undang yang dirugikan. Sejauhmana undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi.
Kewenangan MK berikutnya, ungkap Oly, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Selain itu MK memutus pembubaran parpol dan perselisihan hasil pemilu. Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum.
Selain itu, MK berfungsi sebagai The Guardian Constitution yakni sebagai pengawal konstitusi, The Guardian of Democracy sebagai pengawal demokrasi, The Protector of The Human Rights yakni sebagai pelindung hak asasi manusia, The Final Interpreter of The Constitution yang berarti sebagai penafsir akhir dari konstitusi, The Protectof of The Citizen’s Constitutional Rights sebagai pelindung dari hak konstitusional warga negara. (Nano Tresna Arfana/LA)