JAKARTA, HUMAS MKRI - Focus Group Discussion (FGD) kembali digelar Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Perpustakaan Mahkamah Konstitusi (Puslitka MK) pada Kamis (17/1) siang di aula Gedung Mahkamah Konsitusi MK dengan mengusung tema “Dasar dan Arah Kebijakan Perhitungan Besaran Pesangon”. Hadir pada kegiatan itu seluruh Hakim Konstitusi, Sekretaris Jenderal MK, Panitera MK dan para Peneliti MK.
“Kegiatan FGD kali ini bertujuan membahas pelaksanaan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Kami harapkan dari para narasumber bisa memberikan gambaran kepada kami bagaimana pelaksanaan pasal tersebut terkait tema yang diminta Mahkamah Konstitusi,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam pembukaan acara.
Terkait tema FGD, Sekjen MK M. Guntur Hamzah memberikan pemaparan panjang lebar. “Pesangon merupakan uang yang diberikan pemberi kerja atau pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya pemutusan hubungan kerja. Besaran pesangon umumnya dikaitkan dengan upah bulanan yang diterima pekerja. Jumlah ini dapat juga ditambahkan dengan komponen lain seperti tunjangan, cuti, tunjangan asuransi kesehatan dan lainnya yang merupakan hak karyawan dalam perusahaan,” urai Sekjen MK M. Guntur Hamzah pada kesempatan itu.
Dikatakan Guntur, pengaturan pemerintah dalam hal uang pesangon dimaksudkan untuk mengurangi perselisihan antara buruh dan perusahaan yang akan timbul akibat kesalahan dalam pemutusan hubungan kerja. Uang pesangon merupakan pembayaran dalam bentuk uang dari pengusaha kepada buruh atau pekerja sebagai akibat adanya PHK yang jumlahnya disesuaikan dengan masa kerja buruh.
Salah satu pengaturan yang dianggap menimbulkan permasalahan yaitu Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan, “Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.” Namun, ungkap Guntur, pasal tersebut dianggap multi tafsir karena dalam praktik terjadi pengabaian perhitungan besaran pesangon berdasarkan premi/iuran yang dibayar oleh pekerja/buruh sebagaimana terdapat dalam contoh perhitungan pesangon dalam Penjelasan Pasal 167 ayat (3) UU Nomor 13/2003.
“Berdasarkan uraian di atas, terdapat sejumlah pertanyaan yang hendak dijawab yaitu bagaimana dasar perhitungan besaran pesangon, mengapa perhitungan besaran pesangon hanya berdasarkan uang pensiun yang preminya dibayar oleh pengusaha? Bagaimana jika perhitungan besaran pesangon, termasuk juga premi yang dibayar oleh pekerja? Bagaimana komparasi praktik terbaik perhitungan besaran pesangon di negara-negara lain? Bagaimana formulasi perhitungan besaran pesangon agar tidak menimbulkan multi tafsir?” papar Guntur.
Pasal Rujukan
Menanggapi materi yang dibahas dalam FGD, Direktur Human Capital Bank Rakyat Indonesia (BRI), R. Sophia Alizsa selaku narasumber FGD menjawab pertanyaan soal dasar perhitungan besaran pesangon dan perhitungan besaran pesangon hanya berdasarkan uang pensiun yang preminya dibayar oleh pengusaha.
“Pasal 167 UU Ketenagakerjaan menjadi dasar bagi BRI untuk menentukan pesangon pekerja. Khususnya Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan seperti sudah disebutkan sebelumnya. Termasuk juga implementasi kebijakan BRI, kami sepenuhnya merujuk pada Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan,” kata Sophia.
Selain itu, Sophia menjawab pertanyaan praktik terbaik perhitungan besaran pesangon di negara-negara lain. “Saat ini kami fokus untuk comply pada aturan yang berlaku di Indonesia,” tegas Sohia. Kemudian mengenai pertanyaan formulasi perhitungan besaran pesangon agar tidak menimbulkan multi tafsir, Sophia menjelaskan, “Regulator dapat menerbitkan surat penjelasan secara rinci terkait pelaksanaan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan.”
Narasumber lainnya, Direktur Kepatuhan dan Human Capital Bank Mandiri, Agus Dwi Handaya menyampaikan, “Kami memandang bahwa spirit dari Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan batasan minimal. Kalaupun kami memberikan tambahan untuk uang penggantian hak, kami anggap itu sebagai bagian dari tambahan dari minimal yang harus dipertaruhkan undang-undang. Jadi menurut hemat kami, apa yang diterapkan Bank Mandiri dan BRI sudah memenuhi minimal. Walaupun ada tambahan dari kami, “ ucap Agus.
Usai penyampaian materi oleh narasumber dilakukan acara diskusi. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan, “Mengenai Penjelasan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan apakah dalam praktiknya diterapkan seperti dituangkan dalam Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Karena mungkin sekali dalam praktik di tempat lain ada tafsir yang berbeda mengenai penjelasan pasal tersebut.”
Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyinggung Penjelasan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan terkait perhitungan pesangon, sudah dan tidaknya diterapkan di BRI dan Bank Mandiri. “Apakah ada contohnya? Apakah persis seperti disebutkan dalam Penjelasan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan?” ucap Wahiduddin.
Pernyataan Enny dan Wahiduddin pun dijelaskan oleh Agus Dwi Handaya. Bahwa pesangon itu wajib dipenuhi oleh perusahaan jika terjadi pemutusan hubungan kerja. Sedangkan program pensiun, perusahaan bisa membuat, bisa juga tidak. Jika perusahaan punya program pensiun pun, pegawai bisa ikut, bisa juga tidak.
“Dalam ketentuan Undang-Undang Pensiun hanya diatur maksimal iuran sebesar 20 persen dari penghasilan pekerja. Selain itu iuran dana pensiun bisa seluruhnya kontribusi perusahaan, bisa kombinasi sebagian perusahaan, sebagian pekerja,” tandas Agus. (Nano Tresna Arfana/LA)