Hak jawab bukan persoalan puas dan tidak puas. Jika tak puas dengan pemuatan hak jawab, sah-sah saja menempuh upaya lain untuk memuaskan diri.
Secara filosofis, hak jawab merupakan upaya mengakomodir kepentingan pihak yang merasa dirugikan akibat pemberitaan media massa. Supaya tercapai keseimbangan dalam pemberitaan, ujar Widyatmoko Kukuh Sanyoto, di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin oleh Eddy Risdianto, Selasa (8/4).
Salah seorang anggota tim perumus UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers itu mengatakan, pada dasarnya hak jawab bertujuan menjaga keseimbangan kebebasan pers. Semangat dari UU pers adalah kebebasan pers untuk memberitakan, memenuhi hak publik untuk tahu. Tapi ia juga wajib melayani hak jawab jika ada seseorang merasa dirugikan dari pemberitaan itu, paparnya.
Kukuh adalah Direktur Program Media Penyiaran di Lembaga Pers Dr Soetomo. Selain itu, pria yang berprofesi sebagai wartawan sejak 1978 dan juga kerap menjadi penerjemah bahasa Spanyol itu kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif di Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Ia dihadirkan oleh pihak RAPP sebagai ahli dalam perkara RAPP melawan PT Tempo Inti Media di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kukuh menegaskan, hak jawab adalah cara alternatif menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dari sebuah pemberitaan. Selebihnya, selain berkewajiban memenuhi hak jawab dan hak koreksi, dalam kebebasannya pers juga harus memberitakan secara bertanggungjawab. Menurut dia, pemuatan hak jawab tidak menghapus kerugian yang telah ditanggung seseorang. Ia kemudian menyorot pasal 5 ayat (2) dan (3) UU Pers. Menilik dari pasal tersebut dan juga Kode Etik Jurnalistik, hak jawab bukanlah persoalan puas atau tidak puas. Hak jawb hanyalah salah satu bentuk penyelesaian persoalan tatkala sebuah pemberitaan melukai perasaan seseorang. Toh kalaupun sudah diterbitkan hak jawab, luka itu tidak lalu hilang. Luka itu tetap masih membekas selamanya, kata Kukuh.
Namun demikian, dengan telah disiarkannya hak jawab, diharapkan seorang yang merasa dirugikan akan menganggap sudah dilayani. Hak jawab itu cuma langkah mediasi agar sebuah persoalan yang muncul dari pemberitaan diharapkan bisa selesai secara lebih sederhana daripada harus menempuh cara lain, kata Kukuh. Cara lain itu, sebagaimana alternatif yang diatur dengan UU Pers, urainya, Bisa melalui mediasi di Dewan Pers. Kalau tetap merasa dirugikan, orang bisa saja kemudian menggugat di pengadilan.
Jika ditilik dari UU Pers, hak jawab tidak dijelaskan secara panjang lebar. Penjelasan pasal 5 ayat (2) dan (3) UU Pers hanya menyebut cukup jelas. Justru Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menyebut lebih lanjut. wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional,begitu bunyi Pasal 11 KEJ. Proporsional itu, masih ditafsirkan lagi sebagai âsetara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Setara berarti imbang, begitu kata Kukuh. Ia mengartikan, untuk mendapatkan keseimbangan itu, perlu proses negosiasi antara pengguna hak jawab dengan media bersangkutan. Puasnya seorang pemakai hak jawab juga harus memperhatikan kepentingan redaksi. Paling ideal untuk mencapai kesetaraan itu, hak jawab haruslah hasil akhir dari negosiasi pemakai hak jawab dengan media. Singkatnya, simpul Kukuh, Bukan secara sepihak dari pemakai hak jawab juga bukan sepihak dari redaksi.
Kukuh menegaskan, hak jawab bukan persoalan puas atau tidak puas. Tidak ada keharusan bagi redaksi memampangkan hak jawab sama persis dengan yang dikehendaki pemakai hak. Nggak bisa semuanya mentah-mentah dipampangkan di media. Pasti ada proses editing. Yang pasti pengeditan itu setidaknya sudah diketahui oleh pihak pemakai hak jawab.
Sejumlah pernyataan kukuh di hadapan majelis hakim diduga bertentangan dengan kemauan kuasa hukum RAPP. Minggu lalu, kuasa hukum RAPP Hinca Pandjaitan mengatakan, hak jawab merupakan bentuk pelayanan yang menjadi kewajiban pers.
Beberapa waktu lalu, anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi mengatakan, seringkali pengguna hak jawab memang meminta terlalu berlebihan. Misalnya, jika berita yang dianggap merugikan dipampang di headline, hak jawab juga harus dipampang pada halaman headline. Alamudi menganggap kepentingan berlainan dari kedua belah pihak sering sukar menyatu. Di satu sisi pers enggan dianggap tak akurat menyajikan fakta jika harus memampang hak jawab. Di sisi lain, pemakai hak jawab kerap memaksa memberikan tanggapan panjang lebar yang acapkali tidak relevan.
Mengenai hal ini, Kukuh berpendapat, meski media cetak terbatas ruang cetak, hal itu sebenarnya tetap bisa diakali. Misalnya dengan menambah space, atau menerbitkan secara beruntun dalam space yang relatif kecil. Itu gampang dan bisa-bisa saja, ujarnya.
Pengajar hukum pidana khusus Universitas Islam Indonesia Mudzakkir juga tidak terlalu bersetuju bahwa hak jawab harus memuaskan pemakai hak itu. Kalau sekedar ralat redaksional, seperti salah ketik, lanjutnya, dengan memuat ralat atau koreksi yang ditempatkan di ruang kecil pun tak masalah. Tapi kalau sudah menyangkut substansi pemberitaan, misalnya yang mengandung unsur tuduhan, klarifikasi dari pihak yang merasa tertuduh itu, harus ditempatkan pada tempat sama demi keseimbangan, jelasnya.
Dalam kasus yang demikian, kalau ada pihak yang keberatan dengan sebuah pemberitaan di halaman headline, tanggapannya harus dimuat pada halaman yang sama. Itu namanya keseimbangan, cetusnya. Tapi ia menegaskan, persoalannya tetap bukan memuaskan dan tidak memuaskan pihak yang dirugikan.
Perkara RAPP melawan PT Tempo Inti Media Harian bermula dari tiga berita di Koran Tempo antara lain, berjudul Pertikaian Menteri Kaban dengan Polisi Memanas (edisi No 2181 tahun VII, 6 Juli 2007), Polisi Bidik Sukanto Tanoto (edisi No. 2187 tahun VII, 12 Juli 2007), Kasus Pembalakan Liar di Riau, Lima Bupati Diduga Terlibat (edisi No.2188 Tahun VII, 13 Juli 2007).
RAPP menilai tiga berita Koran Tempo tersebut telah memuat sejumlah informasi yang menyesatkan pembaca karena diragukan kebenarannya, dan bersifat menyudutkan perusahaan bubur kertas milik Taipan Sukanto Tanoto itu. Pemberitaan dinilai telah melanggar asas praduga tak bersalah, akurasi dan kebenaran informasi seperti ditentukan dalam Undang-Undang Pers.
Sumber www.hukumonline.com
Foto http://www.google.go.id