JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK). “Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 3/PUU-XVII/2019, Senin (20/5/2019).
Mahkamah mempertimbangkan pernyataan Pemohon bahwa BPK adalah jabatan politis. Namun Pemohon tidak memberikan definisi maupun pengertian tentang jabatan politis dimaksud melainkan hanya mengemukakan dua alasan yang berkait dengan keanggotaan BPK bahwa proses pemilihannya dipilih secara politis oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan untuk menjadi anggota BPK tidak dipersyaratkan keahlian khusus melainkan cukup sarjana atau yang setara tanpa spesifikasi di bidang tertentu, bahkan tanpa perlu syarat pengalaman. Atas dasar itu Pemohon kemudian melanjutkan argumentasinya bahwa oleh karena sifat jabatan anggota BPK adalah jabatan politis sebagaimana halnya jabatan politis lainnya, in casu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang tidak dibatasi periodisasi.
Dalam kaitan ini Mahkamah berpendapat, terlepas benar atau tidaknya argumentasi Pemohon perihal kriteria jabatan politis, maka produk yang dihasilkan oleh BPK dalam melaksanakan fungsinya adalah produk politik dan semata-mata didasari oleh pertimbangan-pertimbangan politik. Sebagaimana halnya produk-produk DPR, DPD, dan DPRD yang dijadikan rujukan oleh Pemohon.
“Dengan kata lain, pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK terhadap pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara tidak ada bedanya dengan pengawasan politis yang melekat dalam fungsi DPR. Jika demikian halnya, maka menjadi pertanyaan buat apa dibentuk BPK,” kata Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang membacakan pendapat Mahkamah.
Mahkamah juga mempertimbangkan dalil Pemohon bahwa BPK merupakan salah satu pelaksana fungsi legislatif. Mahkamah berpendapat, dengan argumentasi demikian Pemohon secara tidak langsung berarti menganggap kedaulatan rakyat hanya terjelma ke dalam kelembagaan DPR. Padahal, Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 secara tegas menyatakan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan demikian, menurut UUD 1945, seluruh kekuasaan negara sumbernya adalah kedaulatan rakyat. Dengan kata lain, pelembagaan kekuasaan negara ke dalam berbagai lembaga negara yang ada pada saat ini sumbernya adalah kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya diatur berdasarkan UUD 1945. Hal ini merupakan prinsip dasar gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum yang diturunkan dari Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945.
Selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan dalil Pemohon bahwa BPK adalah lembaga yang bersifat majemuk yang dalam pengambilan keputusannya bersifat kolektif kolegial. Menurut Mahkamah, mendalilkan inkonstitusionalitas pembatasan masa jabatan keanggotaan BPK berdasarkan periodisasi dengan landasan argumentasi bahwa BPK adalah lembaga yang bersifat majemuk dan pengambilan keputusannya dilakukan secara kolektif kolegial tidaklah tepat tanpa mengaitkannya dengan konteks tujuan dibentuknya BPK. Adapun bagian dari pertimbangan hukum Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 108/PUU-X/2012 yang dijadikan bagian dari argumentasi Pemohon penekanannya adalah pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan.
“Benar bahwa dalam pertimbangan hukum putusan tersebut Mahkamah membedakan sifat jabatan Presiden dan sifat jabatan anggota DPR dan DPRD dimana dinyatakan bahwa Presiden adalah jabatan tunggal yang memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan pemerintahan sehingga diperlukan adanya pembatasan untuk menghindari kesewenang-wenangan, sedangkan DPR dan DPRD adalah jabatan majemuk yang setiap pengambilan keputusannya dilakukan secara kolektif sehingga Mahkamah menyatakan kecil kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan,” ucap Palguna.
Sebelumnya, anggota BPK Rizal Djalil dengan kuasa hukumnya Irman Putrasidin dan rekan melakukan uji materiil Pasal 5 ayat (1) frasa “untuk 1 (satu) kali masa jabatan” Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006. Pasal a quo berbunyi, “Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”.
Pemohon mendalilkan, semangat pembatasan Presiden hanya maksimal dua periode, adalah mencegah berulangnya otoriternya kekuasaan pada satu tangan. Namun BPK bukanlah kekuasaan yang dipegang satu tangan, melainkan oleh 9 orang yang berkerja secara kolektif kolegial (Pasal 4 ayat (1) UU BPK) dan juga bukanlah pemegang kekuasaan pemerintahan yang menguasai seluruh lini militer, penegakan hukum hingga sektor ekonomi sumber daya alam.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108/PUU-X/2012, Mahkamah berpendapat bahwa pembatasan masa jabatan Presiden tidak dapat dipersamakan dengan pembatasan yang sama untuk masa jabatan anggota DPR dan DPRD karena sifat jabatan dari kedua jabatan itu berbeda. Presiden adalah jabatan tunggal yang memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, sehingga memang diperlukan adanya pembatasan untuk menghindari kesewenang-wenangan. Adapun anggota DPR dan DPRD adalah jabatan majemuk yang setiap pengambilan keputusan dalam menjalankan kewenangannya dilakukan secara kolektif, sehingga sangat kecil kemungkinannya untuk terjadinya kesewenang-wenangan.
(Nano Tresna Arfana)