JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perbaikan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (20/5/2019). Sunggul Hamonangan Sirait selaku Pemohon menyampaikan tujuh poin pokok perbaikan yang dilakukannya, di antaranya konsistensi penggunaan angka diubah menjadi pasal dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. “Terus yang kedua adalah mengubah penggunaan Pasal 10 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menjadi Pasal 29 ayat (1) tentang Kewenangan MK yang berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” jelas Sunggul.
Perbaikan permohonan berikutnya, Sunggul menguraikan kedudukan bahwa pada 17 April 2019 yang lalu pada pemilu legislatif dan pemilu presiden, Pemohon telah menggunakan hak pilihnya. “Kemudian perbaikan yang keempat, dalam uraian posita, kami sudah langsung head to head, perbandingan antara yang dinilai bertentangan atau tidak berkesesuaian antara Pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 28D Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” urai Sunggul kepada Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna selaku Panel Hakim.
Sebagaimana diketahui, perkara yang teregistrasi dengan nomor 36/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Sunggul Hamonangan Sirait yang berprofesi sebagai advokat dan terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilihan Umum 2019. Pemohon menguji Pasal 416 ayat (1) UU No. 7/2017 yang menyebutkan, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.”
Padahal, kata Pemohon, Pasal 6A angka 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi, “Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”
Kemudian Pasal 6A angka 4 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi, “Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.”
Sunggul mendalilkan, original intent Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 dari pembentuk UUD 1945, dalam hal ini panitia ad hoc TAP I MPR ketika membahas materi sistem pemilu presiden dan wakil presiden dalam proses perubahan UUD 1945 membahas angka minimal 50% + 1 dalam penentuan pasangan yang menjadi pemenang. Namun setelah ditelusuri dalam risalah perubahan dapat dilihat bahwa pembentuk perubahan UUD 1945 juga memikirkan masalah penyebaran penduduk yang tidak merata di Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa, di antaranya komposisi penduduk baik dari sebarannya, letak geografis maupun suku bangsa yang terdapat di Indonesia. (Nano Tresna Arfana/LA)