JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) enolak untuk seluruhnya terhadap uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam Sidang Pengucapan Putusan pada Senin (20/5/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Sebelumnya, Ketua KPU Kabupaten Kepulauan Aru Victor F. Sjair (Pemohon I) dan Ketua KPU Kabupaten Maluku Tenggara Barat Johanna Joice Julita Lololuan (Pemohon II) mendalilkan Pasal 10 ayat (1) huruf b dan Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Terhadap permohonan Nomor 26/PUU-XVII/2019 ini Mahkamah dalam pertimbangan hukum melalui Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan secara sistematis posisi Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu berada dalam ruang lingkup salah satu bagian dari “Ketentuan Peralihan”. Merujuk Angka 127 Lampiran UU 12/2011 bahwa Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama terhadap peraturan perundangundangan yang baru.
“Dengan demikian menjadi jelas bahwa norma dalam Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu memang dimaksudkan sebagai peralihan dan setelah anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota diisi berdasarkan peraturan yang baru maka akan berlaku ketentuan Pasal 10 ayat (9) UU Pemilu,” ucap Saldi di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Apabila diletakkan dalam konteks tujuan pembentukan hukum, lanjut Saldi, tidak bisa dipungkiri pembentukan Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu untuk menciptakan kepastian hukum yang adil bagi penyelenggara pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Apabila pembentuk undang-undang tidak membuat aturan peralihan tersebut, bukan tidak mungkin penyelenggara pemilu, termasuk KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota akan berakhir masa jabatannya ketika peraturan yang baru diberlakukan, padahal berdasarkan peraturan yang lama masa jabatannya belum lagi berakhir. Dalam konteks itu, semua penyelenggara pemilu termasuk para Pemohon telah diberikan kepastian hukum yang adil oleh norma Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu.
“Dengan demikian, secara a contrario, apabila dalil para Pemohon diikuti, justru akan memunculkan ketidakpastian hukum terhadap masa jabatan anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota yang masa jabatannya masih tersisa yang diisi berdasarkan UU 15/2011. Secara konkret jika dikaitkan dengan para Pemohon, sekiranya ketentuan Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu tersebut tidak ada maka dapat dipastikan akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak adil bagi para Pemohon sendiri,” urai Saldi.
Desain Proses Seleksi
Berkenaan dengan kekhawatiran para Pemohon terkait adanya pergantian anggota KPU provinsi kabupaten/kota berdekatan dengan jadwal tahap pemungutan suara, kekhawatiran tersebut bukanlah disebabkan oleh ketentuan Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu. Karena secara faktual, terdapat pergantian sejumlah anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota yang berdekatan dengan tahap pemungutan suara, masalah ini dapat diatasi dengan membuat desain pengisian anggota KPU yang disesuaikan dengan tahapan pemilu.
Artinya, jelas Saldi, agar fakta pergantian yang dikhawatirkan oleh para Pemohon tidak terjadi lagi, KPU dapat membuat desain proses seleksi yang mempertimbangkan tahap-tahap pemilu dimaksud. “Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil inkonstitusionalitas para Pemohon terhadap Pasal 10 ayat (1) huruf b dan Pasal 567 ayat (1), serta Lampiran I Rincian Tabel Jumlah Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi dalam UU Pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum,” tandas Saldi. (Sri Pujianti/LA)