JAKARTA, HUMAS MKRI - Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang diajukan oleh anggota Partai Golkar, Dorel Amir akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). “Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 67/PUU-XVI/2018, Senin (20/5/2019).
Hakim Konstitusi Saldi Isra yang membacakan pendapat Mahkamah, menyatakan partai politik merupakan organ yang didesain menjadi lembaga yang memiliki kedaulatan di tangan anggota, sehingga ia mempunyai kebebasan sendiri dalam menentukan syarat dan mekanisme rekrutmen dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangganya. Pada saat yang sama, partai politik juga memiliki kebebasan dalam merekrut anggotanya sepanjang dilakukan menurut cara dan prinsip-prinsip keanggotaan yang ditentukan dalam UU Partai Politik dan tidak bersifat diskriminatif bagi warga negara Indonesia.
“Sehubungan dengan hal tersebut, ketika partai politik mengajukan anggota-anggotanya menjadi bakal calon anggota legislatif tanpa memberikan syarat batas waktu minimal untuk menjadi anggota partai politik, ketiadaan batasan dimaksud tidak dimuat dalam UU Pemilu, apakah kondisi demikian dapat dinilai sebagai kebijakan hukum yang diskriminatif sehingga dapat dinilai telah melanggar hak konstitusional Pemohon untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana dilindungi oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,” urai Saldi.
Hal tersebut, sambung Saldi, telah dinyatakan Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu bahwa UUD 1945 sama sekali tidak membenarkan adanya kebijakan hukum yang bersifat diskriminatif. Dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003, Mahkamah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan diskriminatif adalah adanya perlakuan berbeda terhadap warga negara atas dasar perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, bahasa dan keyakinan politik. Pertimbangan dimaksud sejalan dengan makna substantif yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Mahkamah berpendapat, definisi diskriminasi sebagaimana dimaksud dan dikehendaki UUD 1945 digunakan untuk menilai keberadaan syarat menjadi anggota partai politik yang tidak mencantumkan ihwal batas waktu tertentu. Sebagaimana dimohonkan Pemohon dalam perkara a quo, Mahkamah sama sekali tidak menemukan adanya hal yang bersifat diskriminatif. Ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu hanya memuat syarat “menjadi anggota partai politik peserta pemilu”. Syarat tersebut berlaku umum bagi semua warga negara yang akan mengajukan atau diajukan sebagai calon anggota DPR dan DPRD. Dengan demikian, syarat tersebut sama sekali tidak mengandung maksud membeda-bedakan warga negara atas dasar suku, agama, ras, golongan, kelompok maupun keyakinan politik. Oleh karena itu, norma a quo tidak dapat dinyatakan telah memperlakukan Pemohon secara diskriminatif sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun.
Lebih jauh, Mahkamah juga memahami maksud yang diinginkan Pemohon terkait perlunya syarat jangka waktu tertentu menjadi anggota partai politik yang bersangkutan sebelum seorang warga negara diajukan sebagai bakal calon anggota legislatif. Tujuannya untuk menjaga kualitas proses kaderisasi partai politik dan menopang terlaksananya pemilu yang lebih berkualitas. Adanya batas waktu minimal menjadi anggota partai politik diharapkan menjadi bagian dari rekayasa hukum mendorong perbaikan sistem rekrutmen dan kaderisasi politik partai politik. Hanya saja, lanjut Saldi, hal tersebut merupakan kebijakan pembentuk undang-undang untuk menilai dan memutuskannya dan bukan terkait konstitusionalitas persyaratan menjadi anggota partai politik bagi calon anggota DPR dan DPRD yang diatur dalam Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu.
“Berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon ihwal inkonstitusionalitas norma Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu sepanjang tidak dimaknai sekurang-kurangnya telah menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu pilihannya selama 1 (satu) tahun yang disampaikan Pemohon dalam permohonannya tidak beralasan menurut hukum,” tegas Saldi. (Nano Tresna Arfana/LA)