JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada). Putusan Nomor 14/PUU-XVII/2019 dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman pada Senin (20/5/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini dimohonkan oleh Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi Yustitia Iqbal, sebagai Pasangan Calon (Paslon) Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar 2018 dan telah ditetapkan sebagai Pasangan Calon Tunggal Pemilihan Kepala Daerah Kota Makassar 2018.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan pemilihan Kepala Daerah Kota Makassar 2018 diikuti dua pasangan calon yakni Paslon Nomor Urut 1 Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi Yustitia Iqbal serta Paslon Nomor Urut 2 Moh. Ramdhan Pomanto dan Indira Mulyasari Paramastuti Ilham. Kemudian terdapat Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar Nomor 6/G/Pilkada/2018/PT.TUN.Mks, tanggal 21 Maret 2018 dan dikuatkan pula oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 259 K/TUN/PILKADA/2018 tanggal 23 April 2018 yang menyatakan bahwa pasangan yang memenuhi syarat hanyalah Pasangan Nomor Urut 1 (Pemohon).
Menindaklanjuti putusan itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerbitkan Keputusan KPU Kota Makassar Nomor 64/P.KWK/HK.03.01-Kpt/7371/KPU-Kot/IV/2018 tanggal 27 April 2018 dan Berita Acara Pleno Nomor 435/P.KWK/PL.03.3-BA/7371/KPU-Kot/IV/2018 tentang Penetapan Pasangan Calon Pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar Tahun 2018 tanggal 27 April 2018 dan Berita Acara Nomor 434/P.KWK/PL.03.3-BA/7371/KPU-Kot/IV/2018 tentang Pelaksanaan Penetapan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia terkait Pembatalan Penetapan Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Makassar Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar 2018 sehingga Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar 2018 diikuti satu pasangan calon yakni Pemohon melawan kolom kosong.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah berpendapat yang dimaksud frasa “pemilihan berikutnya” seperti dalam Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU Pilkada adalah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang dilakukan dengan tahapan yang baru sejak dari tahapan awal. Artinya, lanjut Enny, jika frasa “pemilihan berikutnya” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai pemilihan ulang bagi satu pasangan calon yang sudah ditetapkan sebelumnya melawan kolom kosong untuk kedua kalinya sebagaimana dalil Pemohon, maka dalam batas penalaran yang wajar dalil demikian membawa konsekuensi logis bahwa pemilihan berikutnya tidak lagi dimulai dari tahapan awal.
Padahal, sambung Enny, secara sistematis, frasa “pemilihan berikutnya” dalam Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2016 harus dimaknai sebagai “pemilihan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU 8/2015. Artinya, “pemilihan berikutnya” harus dipahami dan dilaksanakan melalui dua tahapan, yaitu “tahapan persiapan” dan “tahapan penyelenggaraan”.
“Dengan makna demikian, sepanjang memenuhi persyaratan, frasa “pemilihan berikutnya” membuka dan memberi kesempatan terhadap semua pihak untuk mengajukan diri dalam kontestasi pemilihan kepala daerah berikutnya termasuk kesempatan bagi pasangan calon tunggal yang sebelumnya tidak meraih suara mayoritas ketika berhadapan dengan kolom kosong,” tegas Enny.
Tetap Harus Verifikasi
Enny melanjutkan terkait dalil Pemohon yang menyebut tidak adil jika Pemohon diharuskan mengikuti verifikasi padahal telah ditetapkan sebagai pasangan calon, Mahkamah menegaskan bahwa proses verifikasi merupakan bagian dari tahapan penyelenggaraan pemilihan yang merupakan keniscayaan bagi setiap calon. Jika calon yang telah pernah diverifikasi dan kemudian ditetapkan sebagai pasangan calon, kemudian dikecualikan dari kewajiban verifikasi untuk pemilihan berikutnya, hal demikian tidak sejalan dengan makna “pemilihan berikutnya” sebagai sebuah proses pemilihan yang dimulai dari tahapan awal sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU 8/2015. “Selain itu, pengecualian demikian jelas menjadi tidak adil bagi calon lain yang mengikuti proses dari tahapan awal sehingga pengecualian demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujar Enny.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas dan dengan telah dinyatakan bahwa Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU Pilkada adalah konstitusional, maka dalil Pemohon yang mempersoalkan Pasal 54D ayat (4) UU Pilkada tidak relevan untuk dipertimbangkan karena ketentuan dimaksud merupakan konsekuensi logis dari belum terpilihnya gubernur, bupati, dan walikota sehingga untuk sementara waktu jabatan tersebut dilaksanakan oleh penjabat kepala daerah.
“Dalil Pemohon perihal inkonstitusionalitas Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) juncto ayat (4) UU 10/2016 sepanjang tidak dimaknai sebagai pemilihan ulang bagi satu pasangan calon yang sudah ditetapkan sebelumnya melawan kolom kosong untuk kedua kalinya, adalah tidak beralasan menurut hukum,” tandas Enny. (Lulu Anjarsari)