JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (9/5/2019). Hadir dalam persidangan, Ramdansyah selaku Pemohon.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Panel Arief Hidayat, Pemohon menyatakan tidak ada perubahan secara signifikan dari permohonannya, baik pasal-pasal yang diuji maupun pokok permohonan. Pemohon hanya mempertegas petitum.
“Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, Pemohon mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk kiranya berkenan memberikan putusan agar mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Pemohon.
Selain itu, Pemohon juga meminta Majelis Hakim agar menyatakan Pasal 284 Undang-Undang a quo tentang Pemilu konstitusional sepanjang dimaknai dalam hal terbukti pelaksana dan tim kampanye pemilu menjanjikan, atau memberikan uang, atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung atau tidak langsung untuk: a. tidak menggunakan hak pilihnya; b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu; c. memilih pasangan calon tertentu; d. memilih partai politik peserta pemilu tertentu; e. memilih calon anggota DPR tertentu; f. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dijatuhi sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Dalam petitum, Pemohon juga menyatakan Pasal 473 ayat (2) undang-undang a quo konstitusional sepanjang dimaknai perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional meliputi: a. penetapan perolehan suara partai politik; b. penetapan partai politik peserta pemilu yang memenuhi ambang batas 4%.; c. perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu; d. penetapan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota terpilih.
Pemohon juga meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 474 ayat (1) undang-undang a quo konstitusional sepanjang dimaknai dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional, peserta pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi.
Di samping itu, Pemohon juga meminta agar Pasal 488 undang-undang a quo dinyatakan inkonstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai merujuk pada Pasal 202, sehingga Pasal 484 berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202, dipidana dengan pidana kurungan maksimal 1 tahun dan denda Rp12.000.000,00.”
Sebagaimana diketahui, permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 29/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Heriyanto dan Ramdansyah yang berprofesi sebagai advokat. Para Pemohon bekerja di bidang kepemiluan. Mereka menguji antara lain Pasal 473 ayat (2), Pasal 474 ayat (1), Pasal 523 dan Pasal 488 UU Pemilu. Menurut para Pemohon, Pasal 473 ayat (2) UU Pemilu tidak membuka ruang perselisihan hasil berupa perselisihan ambang batas dan Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota terpilih.
Para Pemohon juga mendalilkan Pasal 523 UU Pemilu yang merujuk Pasal 280 ayat (1) huruf j UU Pemilu tidak tepat karena Pasal 280 ayat (1) huruf j tidak mengatur spesifikasi peristiwa pidana menjanjikan atau memberikan dalam konteks kepemiluan. Sangatlah sesat apabila peristiwa menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye tidak dalam konteks kepemiluan bisa dijerat dengan sanksi pidana pemilu.
Selain itu menurut para Pemohon, Pasal 488 UU Pemilu salah rujukan pasal yakni merujuk Pasal 203. Padahal Pasal 203 justru tidak menjelaskan pengisian daftar pemilih. Pasal 203 justru hanya mengulang unsur Pasal 448. Penegak hukum akan kesulitan dalam membuktikan pasal ini karena Pasal 203 juga menjadi norma yang mandiri dan tidak bergantung pada norma yang lain. (Nano Tresna Arfana/LA)