JAKARTA, HUMAS MKRI – Pengelolaan pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua, yakni dikelola oleh Pemerintah dan swasta. Untuk sekolah negeri, maka pada prinsipnya biaya ditanggung oleh Pemerintah. Sementara swasta, maka berada di bawah yayasan dengan menganut prinsip nirlaba. Hal ini disampaikan oleh Fasli Jalal sebagai Ahli yang dihadirkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang uji Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Perdagangan (UU Perdagangan), pada Selasa (7/5/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Fasli menegaskan pentingnya memegang prinsip nirlaba dan menerapkannya dalam pengelolaan pendidikan. Mantan Wakil Menteri Pendidikan tersebut menjelaskan bahwa bentuk nirlaba yang dimaksud sistem pendidikan dikembalikan kepada pengelolaan pendidikan. “Apakah dalam bentuk investasi baru, memberikan peningkatan kemampuan daripada para pengelola, termasuk memberikan beasiswa, tapi uang itu kalau ada kelebihan, kembali 100% kepada pelayanan pendidikan itu sendiri karena itulah prinsip nirlaba,” ujar Fasli dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Selain itu, dalam keterangannya, Fasli juga menguraikan pentingnya peran swasta dalam pengelolaan pendidikan Indonesia. Ia menjelaskan swasta tetap harus memegang prinsip nirlaba yang dibantu oleh Pemerintah, baik berupa bantuan dosen, bantuan penelitian, bantuan peningkatan mutu, dan berbagai bantuan yang lain. “Tanda bahwa negara hadir untuk membantu pelayanan yang tidak dilakukan oleh negara, tapi oleh swasta. Tapi karena ini adalah layanan publik, private goods, maka negara akan memberikan dukungannya,” ujarnya menanggapi permohonan yang diajukan oleh mahasiswa sementer 4 Unika Atmajaya Reza Aldo Agusta tersebut.
Sementara itu, pakar pendidikan Ki Supriyoko yang juga dihadirkan MK menyatakan hal senada. Ia menegaskan pendidikan yang diselenggarakan swasta harus bersifat nirlaba. Artinya, tidak untuk mencari keuntungan. “Jika ada keuntungan, maka dikembalikan lagi untuk pengembangan pendidikan itu sendiri,” ujarnya selaku pendidik di Taman Siswa Yogyakarta.
Supriyoko juga menjelaskan model pendidikan yang diterapkan Ki Hajar Dewantara yakni pendidikan murni adalah pelayanan pada publik. Bukan bentuk transaksi yang dapat diperdagangkan. “Dulu anak-anak sekitar taman siswa semua boleh ikut sekolah pada 1922. Dimana saat itu pendidikan menekankan budi pekerti dan mengembangkan intelektualitas,” katanya.
Dulupun, kata Supriyoko, Taman Siswa menerapkan pembayaran semampunya. Adapun yang tidak mampu tidak diwajibkan membayar. “Saat dulu ada keuntungan, semuanya dikembalikan lagi ke peserta didik,” jelasnya.
Dalam permohonan Nomor 16/PUU-XVII/2019 tersebut, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 4 ayat (2) UU Perdagangan yang menyatakan ,“(2) Selain lingkup pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diatur jasa yang dapat diperdagangkan meliputi: d. Jasa Pendidikan.” Karena pasal tersebut, Pemohon telah dirugikan dengan semakin meningkatnya biaya pendidikan. Dengan dijadikannya jasa pendidikan sebagai komoditas perdagangan, biaya pendidikan niscaya akan meningkat karena yang menjadi tujuan bukan lagi pencerdasan, melainkan berorientasi pada keuntungan. Menurut Pemohon, tujuan penyelenggaraan pendidikan di indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tertulis pada Pembukaan UUD 1945 alinea 4. (Arif Satriantoro/LA)