MEDAN, HUMAS MKRI – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memberikan orasi dalam acara Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) ke-65 pada Jumat (3/5/2019) di Medan. Dalam kegiatan tersebut, Anwar hadir dengan didampingi oleh Sekretaris Jenderal M.Guntur Hamzah serta dihadiri pula oleh Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi, Rektor USU Runtung Sitepu serta civitas akademika USU.
Dalam acara tersebut, Anwar memberikan orasi ilmiah yang bertajuk “Mahkamah Konstitusi Mengawal Daulat Rakyat”. Ia mengatakan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelesaian perselisihan hasil pemilu melalui mekanisme yudisial yang merupakan implementasi dari prinsip negara hukum.
Anwar pun menjelaskan sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia. Sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, pemilu telah dilaksanakan sebanyak 12 (dua belas) kali, termasuk pemilihan pada 17 April lalu, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019. Kedua belas pemilu tersebut dilaksanakan pada 4 (empat) masa/orde pemerintahan, yaitu: 1) masa Orde Lama; 2) masa Orde Baru; 3) masa transisional; dan 4) masa Reformasi. Pemilu pertama dilangsungkan tahun 1955 pada masa orde lama. Jika dihitung dari sejak proklamasi, lanjutnya, maka pemilu pertama baru diselenggarakan 10 (sepuluh) tahun setelah merdeka.
“Hal mana disebabkan oleh 3 (tiga) faktor. Pertama,pemerintahan belum siap untuk menyelenggarakan pemilu, kesiapan tersebut diantaranya adalah sistem pemilu yang belum tersusun, ketiadaan organ penyelenggara pemilu, maupun kesiapan sumber daya manusianya. kedua, belumstabilnya kondisi keamanan negara dan masih adanya konflik internal di antara kekuatan politik yang ada ketika itu. Dan ketiga, masih adanya ancaman gangguan keamanan eksternal dari penjajah yang masih belum merelakan Indonesia merdeka,” jelasnya di hadapan civitas akademika USU.
Meski pemilu pertama di Indonesia baru dilaksanakan 10 tahun pasca deklarasi kemerdekaan, Anwar menyebut sejarah mencatat, bahwa pemilu pertama merupakan pemilu yang sukses mengantarkan proses demokratisasi di Indonesia. Keberhasilan pemilu pada 1955 mendapat pujian dari berbagai pihak baik di dalam maupun luar negeri. Nuansa kompetisi secara sehat ditunjukkan dalam pemilu pertama tersebut. Bahkan pejabat negara yang mengikuti kontestasi ketika itu, tidak dianggap sebagai pesaing yang harus dikhawatirkan. Para pejabat negara berkompetisi secara fair terhadap kandidat lainnya, tanpa menggunakan fasilitas negara. Pemilu yang diikuti oleh lebih dari 30 partai politik untuk memilih anggota DPR dan anggota konstituante berjalan sangat sukses tanpa permasalahan yang berarti.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Anwar menjelaskan Indonesia telah melaksanakan pemilu yang secara serentak, yakni antara pemilu legislatif serta pemilu presiden dan wakil presiden, serentak pemilu lima kotak. Ia menyebut pemilu yang sukses dalam semua tahapan, artinya seluruh tahapan pemilu serentak sukses diselenggarakan, bukan hanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, melainkan sejalan dengan nilai-nilai demokrasi yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar 1945. “Yang terpenting, Pemilu serentak 2019 betul-betul akan melahirkan manfaat dan kemaslahatan bagi bangsa, dan menjadikan bangsa ini menjadi lebih baik dalam segala hal,” ujar pria kelahiran Bima tersebut.
Menurut Anwar, penting untuk ditegaskan bahwa kesuksesan pemilu bukan hanya tercermin dari kelancaran rangkaian proses pemilu sejak tahapan persiapan, kampanye, sampai dengan pemungutan suara, akan tetapi ditentukan pula oleh bagaimana sengketa hasil pemilu yang muncul dapat diselesaikan dengan mekanisme yang transparan, akuntabel, adil, damai, dan bermartabat.
“Atas dasar itulah, untuk dapat menjalankan kewenangan menyelesaikan sengketa hasil pemilu, perlu untuk disampaikan dalam forum ini bahwa hakim konstitusi dan seluruh pegawai MK, telah mempersiapkan diri untuk menghadapi dan menangani perkara perselisihan hasil pemilu, sekiranya nanti memang ada yang mengajukan permohonan,” paparnya.
Secara kuantitatif, Anwar mengungkapkan MK juga telah memperkirakan jumlah perkara yang kemungkinan akan masuk dan diterima oleh Mahkamah untuk disidangkan. Berdasarkan pengalaman Mahkamah pada pemilu tahun 2004, 2009 dan 2014, maka pada pemilu 2019 ini, MK memperkirakan akan menerima perkara kurang lebih sebanyak 302 perkara atau sekitar 52 %, dari total 582 perkara yang bisa masuk ke MK. Perkiraan jumlah perkara tersebut dihitung berdasarkan jumlah partai politik dan calon anggota DPD dari 34 provinsi, dipadukan dengan sistem pemeriksaan persidangan di MK yang berbasis pada provinsi.
“Artinya, dengan perhitungan tersebut dan persiapan yang telah dilaksanakan oleh MK, kekhawatiran akan adanya ledakan perkara sebagaimana analisis beberapa kalangan, telah diantisipasi dan dipersiapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta didasarkan pula pada pengalaman MK dalam menangani sengketa perselisihan hasil pemilihan umum ditahun-tahun sebelumnya,” ungkapnya.
Namun, Anwar menegaskan kesuksesan penyelenggaraan kegiatan penyelesaian perselisihan hasil pemilu di MK, tidak semata-mata bergantung kepada MK saja, melainkan juga bergantung kepada kerjasama dan sinergitas seluruh organ negara terkait penyelenggaraan pemilu, baik itu (KPU), Bawaslu, DKPP, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, maupun kalangan akademisi. (Hendy/LA)