JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat (UU Pembentukan Otonom Irba) pada Selasa (30/4/2019) di Ruang Sidang Panel MK. Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 35/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan 14 orang Pemohon yang terdiri atas beberapa Perwakilan Dewan Adat Papua, perseoragan warga negara serta Solidaritas Perempuan Papua dan Kemah Injil Gereja Masehi di Tanah Papua (Kingmi).
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Saldi Isra, Yan Christian Warinussy selaku kuasa hukum para Pemohon menyebutkan bahwa frasa “Menimbang” dan “Penjelasan Umum Paragraf 7 dan 8” UU Pembentukan Otonom Irba bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut para Pemohon, pelaksanaan dan keputusan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang hanya diikuti sejumlah orang yang tergabung dalam Dewan Musyawarah Pepera sebenarnya tidak sejalan dengan UUD 1945 utamanya Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Selain itu, tambah Yan, UU Pembentukan Otonom Irba berakibat pada ketimpangan ratifikasi yang terdapat pada New York Agreement yang disepakati pada 15 Agustus 1962 antara Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Belanda. Sehingga, sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI telah menjadi sumber konflik utama di Papua. “Bahwa konsideran UU a quo telah berakibat pada pembenaran politik yang merugikan hak-hak dasar para Pemohon khususnya Badan Hukum,” ujar Yan.
Lebih lanjut, Simon Patirajawane selaku kuasa hukum lainnya, menyampaikan bahwa yang menjadi dasar pelaksanaan Pepera adalah New York Agreement yang dalam Pasal XVIII ayat (d) menyatakan semua orang, baik laki-laki maupun perempuan dapat terlibat dalam penentuan nasib sendiri yang dilaksanakan menurut kebiasaan internasional. Hal tersebut, jelas Simon, berbeda dengan sebelum dilaksanakannya Pepera. Bahwa tidak pernah ada konsultasi dan keterlibatan wakil-wakil resmi dari masyarakat Papua dalam proses pembicaraan dan penetapan New York Agreement dan hanya ada konsultasi dengan badan yang telah lama ada di Papua. Sehingga tidak memahami aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Adapun dalam pelaksanaan Pepera, pemerintah Indonesia tidak menggunakan sistem one man one vote, tetapi menggunakan Dewan Musyawarah Pepera.
“Namun, hanya selang dua tahun setelah dilaksanakannya Pepera, yakni pada 1971, pemerintah Indonesia dapat melaksanakan pemilu di tanah Papua dengan sistem one man one vote. Hal ini membuktikan sebetulnya sistem tersebut sangat mungkin dilaksanakan bila dikehendaki,” jelas Simon.
Melalui Petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah agar Penjelasan Umum Paragraf 7 sampai 8 UU Otonom Papua yang berbunyi “... Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat (Act of Free Choice) yang dilakukan melalui Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat sebagai manifestasi aspirasi rakyat telah terlaksana dan hasilnya menunjukkan dengan positif bahwa rakyat di Irian Barat berdasarkan rasa kesadarannya yang penuh, rasa kesatuan, dan rasa persatuannya dengan rakyat di daerah-daerah lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta kepercayaan kepada Republik Indonesia, telah menentukan dengan mutlak bahwa wilayah Irian Barat adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keputusan Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat tersebut adalah sah dan final tidak dapat diganggu gugat lagi oleh pihak manapun,” bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Kerugian Konstitusional
Terhadap perkara tersebut, Arief meminta agar para Pemohon mempertimbangkan permintaan yang dicantumkan pada Petitum mengingat pihaknya belum menguraikan secara jelas pertentangan keberlakuan norma a quo dengan UUD 1945.
“Tunjukkan pertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 ini di mana, itu lebih dielaborasi. Kalau sudah, nanti akan terlihat kerugian konstitusional para Pemohon. Jadi, jelaskan betul bahwa prinsipal punya kerugian atas keberlakuan UU a quo,” pinta Arief.
Sedangkan Saldi meminta para Pemohon untuk mempelajari putusan-putusan MK yang berkaitan dengan pembentukan daerah. Menurut Saldi, ada aturan hukum yang telah menggariskan pihak-pihak yang berwenang mengajukan perkara terkait pembentukan suatu daerah. Di samping itu, hal ini juga terkait dengan kedudukan hukum para Pemohon nantinya. Adapun Suhartoyo meminta para Pemohon memberikan landasan argumentasi yang lebih kuat antara kedudukan Pasal 28 UUD 1945 dengan makna dari persatuan dan kesatuan bangsa yang disasar dari norma a quo.
Sebelum mengakhiri persidangan, Suhartoyo mengingatkan agar para Pemohon menyempurnakan permohonan dan menyerahkan selambat-lambatnya pada Senin, 13 mei 2019 pukul 11.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)