Setelah dinanti-nanti, lahir juga UU Surat Berharga Syariah Negara. Pemerintah dapat mendirikan perusahaan penerbit sukuk. Perusahaan ini merupakan badan hukum khusus. Bukan perseroan maupun yayasan, bukan pula BUMN.
Akhirnya Indonesia punya payung hukum dalam pembiayaan via surat utang negara berbasis syariah. Obligasi tersebut dikenal dengan istilah sukuk. Lewat rapat kerja antara Komisi XI DPR dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Senin malam (7/4), parlemen bersama pemerintah sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara. Ada sembilan fraksi yang membubuhkan stempel setuju. Sedangkan Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS) konsisten sejak awal menolak.
Transaksi syariah pada dasarnya berpijak pada sebuah akad atau semacam perjanjian tertulis alias kontrak. UU ini mengenal empat jenis akad sukuk. Keempatnya adalah ijarah, musyarakah, mudarabah, dan istishna. Bisa juga akad sukuk merupakan racikan atau campuran dari empat jenis di atas.
Ijarah merupakan akad yang satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menyewakan hak atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga sewa dan periode sewa yang disepakati.
Mudarabah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih. Pihak tersebut antara lain penyedia modal dan pihak lain yang menyediakan tenaga dan keahlian. Keuntungan akan dibagi berdasarkan nisbah. Sedangkan jika terjadi rugi, seluruhnya ditanggung penyedia modal kecuali lantaran kelalaian si pekerja.
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk menggabungkan modal baik dalam bentuk uang maupun lainnya. Keuntungan usaha akan dibagikan sesuai dengan nisbah. Sedangkan jika merugi, kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan partisipasi modalnya.
Istishna adalah akad jual beli aset berupa obyek pembiayaan antara para pihak. Spesifikasi, cara, dan jangka waktu penyerahan, serta harga aset tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.
Kendaraan Khusus
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Depkeu Rahmat Waluyanto menjelaskan transaksi syariah harus melibatkan pihak ketiga sebagai perantara penjualan surat utang. Karena itulah, diperlukan perusahaan penerbit sukuk (special purpose vehicle, SPV). Jika diperlukan, pemerintah bisa mendirikannya. Harus ada aset yang seolah-olah diperdagangkan, paparnya. SPV ini berada di bawah koordinasi Depkeu.
Perusahaan penerbit yang didirikan oleh pemerintah ini merupakan badan hukum khusus. Bukan perseroan, bukan pula yayasan atau bentuk badan hukum lainnya. Meski didirikan pemerintah, Bukan BUMN, lo. Dia hanya dedicated untuk menerbitkan sukuk, sambung Ani, panggilan akrab Sri Mulyani.
Melengekapi penjelasan bosnya, Rahmat menyatakan, pendirian perusahaan ini tak sulit. Hanya perlu satu-dua orang direksi kok. Dan tak perlu ada rapat umum pemegang saham. Tidak tunduk pada UU PT maupun UU BUMN. Di luar negeri namanya two dollars company, jelasnya.
Cuma, sambung Rahmat, SPV ini hanya diperlukan pada akad tertentu. Dimungkinkan juga pemerintah langsung menerbitkan surat utang, ujarnya. Akad yang butuh SPV, misalnya, ijarah.
Pasal 13
(1) Dalam rangka penerbitan SBSN, pemerintah dapat mendirikan perusahaan penerbit SBSN.
(2) Perusahaan penerbit SBSN merupakan badan hukum yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Perusahaan penerbit SBSN adalah badan hukum yang berkedudukan di dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
(4) Perusahaan penerbit SBSN bertanggung jawab kepada Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian, organ, permodalan, fungsi, dan pertanggungjawaban perusahaan penerbit SBSN diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Rp 15 triliun
Rahmat menjelaskan, saat ini pemerintah mengantongi aset negara senilai Rp 15 triliun. Aset ini istilahnya Barang Milik Negara (BMN). Aset ini bisa berupa tanah dan bangunan serta bentuk lainnya. Aset inilah yang digunakan sebagai barang jaminan dalam transaksi ijarah serta transaksi berbasis aset lainnya. Dan penerbitan sukuk tak boleh melebihi nilai aset agunan. Makanya maksimal kita bisa terbitkan Rp15 triliun, jelasnya.
Menurut Rahmat, sukuk bisa terbit pada semester kedua nanti. Cuma, tak bisa serentak terbit sebesar Rp 15 triliun. Rahmat cenderung memilih dua kali terbit. Karena instrumen baru, kita tes daya serap pasarnya, ujarnya.
Untuk pertama kali, Rahmat berpendapat, penerbitan sukuk ini sebaiknya lewat cara book building daripada via pelelangan. Book building artinya menunjuk beberapa perusahaan investasi. Bisa berupa bank investasi atau perusahaan sekuritas. Mereka inilah yang mengumpulkan order pembelian dari calon investor. Kita sewa mereka untuk cari investor, sambung Rahmat.
Sedangkan akad jenis lainnya, Rahmat meramalkan baru bisa dilempar ke pasar pada tahun depan. Misalnya pembiayaan proyek. Harus kita bicarakan dulu dengan Bappenas. Harus susun blue book dulu, tegasnya.
Satu Golongan
Juru bicara FPDS Retna Situmorang menegaskan penolakan fraksinya. Satu-satunya fraksi kristiani ini sebelumnya menyerap pendapat publik. Dari diskusi publik itu, Retna menyimpulkan sistem syariah, Hanya berdasarkan Alquran, hadis, dan ijma atau fatwa ulama.
Padahal, menurut Retna, sebuah peraturan perundang-undangan tak dapat hanya berdasarkan pandangan satu golongan dalam hal ini Islam. Retna juga mengaku mempelajari pendapat para ahli hukum, salah satunya Prof. Muladi. Pakar hukum yang kami temui berpendapat sebuah undang-undang tak boleh hanya untuk melayani satu golongan saja, sambungnya. Tengah bulan silam dalam sebuah acara di Bandung, Muladi bersama Prof. Andi Hamzah berpendapat ketentuan pidana peraturan daerah atas nama syariah tak boleh diterapkan.
Jika demi alasan adanya payung hukum bagi investor, menurut Retna, pemerintah bisa membuatnya. Dengan level di bawah undang-undang, imbuhnya. Perbankn syariah, misalnya. Menurut Retna, UU Perbankan saat ini sudah mengaturnya. Lagipula, untuk ketentuan teknisnya, bagi Retna, cukup memakai Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Menanggapi penolakan Retna, Ani menegaskan sistem syariah bebas dari ideologi manapun. Dan sukuk ini semata-mata untuk instrumen pembiayaan negara. Ani percaya sukuk dapat menjaring para investor lebih luas. Dan ini juga berguna untuk menyebar risiko keuangan. Perbedaan agama di antara kami bukan jadi kendala. Kami yakin tak akan membahas UU ini jika sejak awal bertentangan dengan ideologi Pancasila, ujarnya.
Juru bicara asal Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Misbah Hidayat menyatakan sukuk memang sangat diperlukan, terutama, untuk pembiayaan sejumlah proyek. Daripada meminjam dari luar negeri, rentan terhada risiko nilai tukar, tuturnya.
Peraturan pelaksana
UU ini mengamanatkan sejumlah peraturan pelaksana, baik setingkat Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Peraturan itu antara lain PP tentang perusahaan penerbit SBSN serta PMK soal penerbitan dan penjualan sukuk. Sri Mulyani mengaku sudah membuat draf sejak awal. Tinggal butuh harmonisasi dengan Dephukham. Insya Allah bisa selesai secepat mungkin, semester dua nanti, ujarnya. Rahmat menegaskan, PP tersebut bisa selesai satu bulan kemudian.
Sumber www.hukumonline.com
Foto http://www.google.go.id