JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan uji Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), pada Rabu (24/4/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Zico Leonard Djagardo Simanjuntak yang merupakan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) menjadi Pemohon Perkara Nomor 31/PUU-XVII/2019 tersebut.
Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Materiil Pasal 65 ayat (3) huruf b UU Dikti terutama frasa “mandiri” dan Pasal 68 terutama frasa “ketentuan lebih lanjut”. Pasal 65 ayat (3) huruf b UU Dikti menyatakan, “PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki: a. … b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri”. Sementara Pasal 68 UU Dikti berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65 diatur dalam Peraturan Pemerintah.”
Zico yang hadir tanpa kuasa hukum mendalilkan UU Dikti mengatur bentuk penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi negeri yang salah satunya ditandai dengan tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri. Hal ini pun tercantum dalam Pasal 65 ayat (3) huruf b UU Dikti.
“Namun, pada tanggal 14 Maret 2019, dua orang yakni Erick Thohir dan Saleh Hussin memiliki afiliasi dengan partai politik dan politisi tertentu dipilih menjadi anggota majelis wali amanat (MWA) Universitas Indonesia (UI),” ujar Zico.
Selain itu, menurut Pemohon, tidak didefinisikannya frasa tersebut telah menimbulkan terpilihnya kedua anggota MWA di atas. Pemohon beranggapan, keberadaan kedua orang tersebut di MWA perguruan tinggi terkait telah menunjukkan intervensi politisi dalam institusi pendidikan yang seharusnya tidak berpihak pada kepentingan politik tertentu. Pemohon menguatkan argumennya dengan merujuk Pasal 11 ayat (3) UU Dikti yang menjelaskan bahwa pengembangan budaya akademik direalisasikan melalui interaksi sosial yang tidak membedakan aliran politik.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan pasal 65 ayat (3) huruf b UU Pendidikan Tinggi konstitusional sepanjang frasa “mandiri” dimaknai salah satunya dengan “pengelola dan pengambil keputusan tidak memiliki afiliasi politik selama satu tahun sebelumnya baik dengan menjadi anggota partai politik maupun menjadi tim sukses dari politisi manapun.
“Pemohon juga meminta menyatakan pasal 68 UU Pendidikan Tinggi tetap konstitusional sepanjang frasa “ketentuan lebih lanjut” dimaknai dengan “ketentuan yang bertentangan dan tindakan hukum yang lahir sebagai akibat ketentuan tersebut menjadi batal demi hukum, terutama dalam hal Pengelolaan dan Pengambil Keputusan di di Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum”,” tandas Zico.
Kasus Konkret
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menilai Pemohon lebih banyak menguraikan kasus konkret. Ia meminta agar tidak terlalu fokus dengan kasus konkret, namun coba diabstraksikan. Ia mengingatkan bahwa MK tidak mengadili kasus konkret. “Begitu juga Petitum, ini modelnya untuk kasus konkret juga,” ujarnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menilai model petitum yang salah seperti dalam perkara di pengadilan negeri. Dia pun menilai tidak ada permasalahan konstitusional di perkara ini. Menurutnya, permasalahan yang dipaparkan Pemohon terkait masalah implementasi norma. “Saya menilai permohonan ini sumir,” tegasnya. (Arif Satriantoro/LA)