Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pertama pengujian materiil Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (UU Yayasan) di Ruang Sidang Panel MK pada Rabu (24/4/2019). Perkara yang teregistrasi Nomor 30/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Armen Kusumah, Sri Wuryatmi, dan Saman selaku pihak-pihak yang mewakili pengurus Yayasan Al-Ikhwan Meruya.
Melalui Arjumulia selaku kuasa hukum, Pemohon mendalilkan Pasal 53 ayat (2) UU Yayasan yang berbunyi, “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan atas permohonan pihak ketiga yang berkepentingan disertai dengan alasannya,“ bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasar penilaian Pemohon, frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 53 ayat (2) UU Yayasan bersifat multitafsir karena berdasar kasus konkret berupa dugaan-dugaan yang dialami Pemohon sebelum diajukan permohonan a quo, telah terjadi penyalahtafsiran makna tersebut. Akibatnya, jamaah dalam arti luas (siapa pun) dapat saja melakukan pemeriksaan terhadap hal-hal yang terkait dengan Yayasan Al-Ikhwan Meruya yang dinilai melakukan perbuatan yang merugikan yayasan atau lalai melakukan tugasnya sebagaimana yang dimaksud Pasal 53 ayat (1) UU Yayasan. Seharusnya, jelas Arjumulia, frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” itu haruslah berpedoman pada Pasal 53 ayat (3) UU Yayasan.
“Yang pada intinya pihak-pihak yang berwenang mengajukan permohonan terhadap sebuah yayasan atau Pemohon adalah pihak-pihak yang telah ditetapkan pengadilan atas permintaan Kejaksaan dalam mewakili kepentingan umum,” ujar Arjumulia dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Manahan M.P. Sitompul.
Untuk itu, dalam petitum, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 53 ayat (2) UU Yayasan bertentangan dengan norma perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana ditentukan Padal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Jamaah dari Masjid Al-Ikhwan yang sesuai dengan keyakinannya secara langsung atau tidak langsung ikut bertanggung jawab dalam memakmurkan Masjid Al-Ikhwan.”
Kedudukan Hukum
Terhadap permohonan yang diajukan, Manahan menekankan perlunya Pemohon memahami kedudukan hukum pihaknya sebagai pengurus yayasan yang memiliki jabatan sebagai ketua, sekretaris, maupun bendahara. Tersebut berwenang untuk mengajukan permohonan di pengadilan. “Apakah selain ketentuan AD/ART Yayasan, adakah norma yang menyebutkan kedudukan hukum Pengurus ini? jika ada bisa disebutkan dalam permohonan untuk memperkuat kewenangan Pemohon,” jelas Manahan.
Selain itu, Manahan mempertegas berdasarkan substansi pasal 53 ayat (2) UU Yayasan, Pemohon menginginkan “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam pemeriksaan yayasan harus mengajukan pada pengadilan sehingga mereka harus diputus pengadilan terlebih dahulu berhak atau tidak dalam mengajukan permohonan pada yayasan Pemohon.
“Maka itu yang Pemohon berkeberatan? Jika “pihak ketiga yang berkepentingan” itu ditafsirkan jamaah. Jadi, siapa pun yang menafsirkan pihak ketiga itu jamaah, maka sehatrusnya tidak punya kepentingan langsung dengan yayasan dan itu bukanlah “pihak ketiga yang berkepentingan” yang sesuai dengan keinginan Pemohon,” jelas Manahan.
Erga Omnes
Adapun Arief mengingatkan Pemohon untuk mengerti terlebih dahulu makna dari pengujian undang-undang pada Pasal 53 ayat (2) UU Yayasan. Hal ini disampaikan Arief mengingat pada petitum Pemohon meminta Mahkamah menafsirkan atau mengubah makna frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” agar ditulis siapa-siapa saja yang dimaksudkan.
“Ini bisa dibayangkan frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” itu diganti “dimaknai jamaah....” karena hal itu nantinya akan dan hanya berlaku untuk Pemohon saja. Padahal apabila norma itu kalau dibatalkan atau diubah itu sesungguhnya berlaku untuk semua pihak,” tegas Arief.
Hal senada juga disampaikan Saldi dengan mengingatkan Pemohon untuk memahami hakikat dari permintaan dalam petitum Pemohon. Saldi menilai, apabila permohonan Pemohon dikabulkan yang hanya menyangkut jamaah pada Masjid Al-Ikhwan, maka hal tersebut melanggar prinsip erga omnes.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengingatkan Pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 7 Mei 2019 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)