JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) pada Selasa (23/4/2019) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara yang teregistrasi Nomor 28/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan Victor Santoso Tandiasa (Pemohon I) dan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (Pemohon II). Para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 10 huruf a dan Pasal 30 huruf a UU MK serta Pasal 29 ayat 1 huruf a dan seluruh UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945.
Pada sidang kedua ini, Victor menyampaikan poin perbaikan permohonan, di antaranya penyempurnaan sistematika permohonan, alasan permohonan terkait penjelasan konteks negara hukum dalam pengadilan konstitusional, serta mengubah pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu pengujian. Pasal 28I ayat (4) yang dijadikan batu uji menyatakan “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah”. Menurut Victor, MK sebagai salah satu unsur utama negara dalam melaksanakan tanggung jawab untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia memiliki fungsi dan tugas sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara dan pelindung hak asasi manusia. “Inilah yang menjadi dasar konstitusional bagi Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya,“ jelas Victor dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra.
Berikutnya, Victor juga menegaskan penyempurnaan Petitum dengan memohonkan pada Majelis Hakim Konstitusi untuk memeriksa dan memutus uji materiil dengan menyatakan penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman terhadap frasa cukup jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “dalam ketentuan ini termasuk kewenangan memeriksa dan memutus pengaduan konstitusional atau constitutional complain.”
Sebelumnya, Pemohon I pernah berperkara di MK dalam perkara Nomor 123/PUU-XIII/2015, yang dalam putusan tersebut Mahkamah pada perkara tersebut menyatakan “memang terdapat kekosongan hakim yaitu bukan hanya tidak adanya atau tidak ditegaskannya mekanisme hukum yang dapat ditempuh oleh seseorang tersangka yang tanpa alasan yang jelas tidak segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum”, namun setelah 3 tahun berjalan sejak diputuskan pembentuk UU belum menindaklanjuti hal yang telah diputuskan Mahkamah.
Adapun Pemohon II juga pernah memperjuangkan hak konstitusional melalui perkara Nomor 76/PUU-XVI/2018 dan perkara Nomor 5/PUU-XVII/2019. Dalam kedua permohonan tersebut, Pemohon II tidak mengujikan norma, tetapi menyatakan tidak dilakukannya revisi oleh pembentuk undang-undang. Terhadap ketentuan norma pasal a quo, Pemohon II menilai bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan bahwa mekanisme pengaduan konstitusional merupakan salah satu mekanisme perlindungan hak konstitusional warga negara melalui pengadilan tata negara dalam hal ini MK, yang bertujuan memberikan perlindungan dengan maksimum terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Dengan demikian, sebagai bagian dari konstitusi yang merupakan hukum fundamental yang membatasi kekuasaan negara, hak konstitusional juga merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara. Padahal pada negara hukum modern yang demokratis merupakan upaya hukum untuk menjaga martabat yang dimiliki manusia yang tidak boleh diganggu gugat agar aman dari tindakan kekuasaan negara. Selain itu, menurut para Pemohon bahwa dasar filosofis muruah MK sebagai The Guardian of Constitution menjadi suatu kontradiksi yang sangat tajam akan marwah apabila MK tidak memiliki kewenangan pengaduan konstitusional tersebut. (Sri Pujianti/LA)