JAKARTA, HUMAS MKRI - Sejumlah 112 orang mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (Prodi PPKn) Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya (Unesa) berkunjung ke MK pada Selasa (23/4/2019). Rombongan yang didampingi empat orang dosen ini disambut Panitera Pengganti MK Ery Satria Pamungkas di Ruang Konferensi MK. Dalam sambutan, Ery mengajak para mahasiswa untuk berkenalan dengan kedudukan MK dalam lembaga negara di Indonesia.
Menurut Ery, hal yang menyebabkan hadirnya MK dalam kedudukan pada lembaga negara di Indonesia adalah hasil dari amendemen UUD 1945. Atas perubahan tersebut, salah satu konsekuensinya adalah tidak ada lagi istilah lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. “Saat ini, semua dibuat sejajar. Hanya yang membedakan ada yang dituliskan secara eksplisit dalam UUD 1945, seperti BPK, Presiden, DPR, MA, MK, dan KY. Konsekuensinya semua lembaga ini sejajar, hanya fungsinya saja yang berbeda-beda,” jelas Ery.
Di samping itu, lanjut Ery, ada pula lembaga yang disebut dalam konstitusi tak secara tegas, seperti KPU atau Bank Indonesia. Pada konstitusi hanya disebutkan lembaga penyelenggara pemilihan umum atau bank sentral dengan huruf kecil. Artinya, nama seperti KPU atau Bank Indonesia suatu saat dapat diganti asal tidak tumpang tindih dengan lembaga yang telah ada. Begitu pula dengan kementerian negara, sehingga kementerian tidak ditentukan secara jelas oleh konstitusi.
Adapun keberadaan MK dan MK merupakan lembaga negara pemegang kekuasaan yudikatif. Dalam perbedaannya, MA mempunyai badan peradilan di bawahnya, sedangkan MK tidak ada lembaga dibawahnya. Berpedoman pada pelaku kekuasaan kehakiman, maka UUD 1945 melalui Pasal 24 menjadi dasar pembentukan MK. Dalam pasal tersebut kemudian dijabarkan kewenangan MK, yakni menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR apabila Presiden danWakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment).
“Terkait dengan impeachment, MK tidak berwenang memecat presiden, itu murni proses politik dan itu kewenangan DPR. Akan tetapi, alasan pemecatannya harus berlandaskan hukum sejak adanya perubahan UUD dan yang memutus pendapat DPR atas pelanggaran yang dilakukan Presiden adalah MK. Itulah keseimbangan hukum dan politik,” terang Ery. (Sri Pujianti/LA)