JAKARTA, HUMAS MKRI – Guru Besar Ilmu Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menegaskan Pemerintah tidak lepas tangan pada bidang pendidikan. Meskipun sektor pendidikan merupakan jasa yang dapat diperdagangkan. Hal ini disampaikan Hikmahanto selaku Ahli Pemerintah dalam sidang lanjutan uji Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (22/4/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan Nomor 16/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Reza Aldo Agusta, Mahasiswa Semester 4 Unika Atmajaya Yogyakarta. Pasal 4 ayat (2) huruf d UU Perdagangan yang diuji menyatakan, “(2) Selain lingkup pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diatur jasa yang dapat diperdagangkan meliputi: d. Jasa Pendidikan.” Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya dirugikan dengan semakin meningkatnya biaya pendidikan. Dengan dijadikannya pendidikan sebagai komoditas perdagangan, biaya pendidikan niscaya akan meningkat karena yang menjadi tujuan bukan lagi pencerdasan, melainkan berorientasi pada keuntungan. Menurut Pemohon, tujuan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tertulis pada Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4.
Hikmahanto menegaskan maksud dari jasa pendidikan perlu diatur perdaganganya, karena pendidikan merupakan jasa yang berada dalam domain kewajiban negara. Meskipun di sisi lain, jasa pendidikan telah lama dikomersialkan di masyarakat.
Bahkan jasa pendidikan yang bersifat komersial juga diminati oleh para pelaku dari luar negeri. Oleh karena itu, jelas Hikmahanto, dalam berbagai perjanjian internasional di bidang perdagangan, jasa pendidikan masuk dalam jasa yang harus dibuka bagi pelaku usaha. Tentu bila jasa pendidikan dibuka untuk para pelaku usaha dari negara lain, maka Pemerintah perlu mengaturnya.
“Di sini, menurut saya, makna penting dari Pasal 4 ayat (2) huruf d, dimana dibukanya jasa pendidikan bagi pelaku usaha dari negara lain, bukan berarti pelaku usaha tersebut bisa semaunya memasuki jasa pendidikan di Indonesia. Pemerintah tentu mempunyai kewenangan untuk mengatur pelaku usaha dari luar negeri, ketika hendak memasuki jasa pendidikan di Indonesia,” tegasnya.
Dalam konteks itu, Hikmahanto memaknai kalimat “Selain lingkup pengaturan,” jadi pengaturan. “Kalimat “Selain lingkup pengaturan” sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diatur jasa yang dapat diperdagangkan, meliputi jasa pendidikan. Jadi, jasa pendidikan ini harus mendapat pengaturan, tidak dibuka sebebas-bebasnya,” tegasnya.
Berikutnya, kata Hikmahanto, sektor pendidikan merupakan salah satu sektor dari pelbagai perjanjian perdagangan internasional. Di era global ini, masyarakat internasional telah menyepakati adanya perdagangan dunia yang bebas (free trade). Sebagaimana telah diuraikan, perdagangan bebas ini didasarkan pada perjanjian, baik bilateral, regional, maupun multilateral. Terkait dengan perdagangan ini, maka komoditas yang diperdagangkan itu berupa barang, jasa, dan hal-hal yang terkait dengan kekayaan intelektual.
“Di bidang jasa, banyak yang disepakati antarnegara agar pasar di suatu negara dibuka, di mana salah satu diantaranya adalah jasa pendidikan. Jasa pendidikan di sini tentunya bukan jasa pendidikan yang wajib disediakan oleh negara, jasa pendidikan yang dimaksud adalah jasa pendidikan menurut saya yang bersifat komersial di berbagai tingkatan,” urainya.
Dampak Pembatalan
Hikmahanto juga menyebut terdapat konsekuensi hukum jika Pasal 4 ayat (2) UU Perdagangan dibatalkan. Misalnya, MK membatalkan instrumen ratifikasi, maka konsekuensinya adalah Indonesia harus keluar dari perjanjian internasional yang telah diikuti.
“Padahal, untuk keluar dari perjanjian internasional bukanlah hal yang mudah, tidak mudah karena ada perjanjian internasional yang tidak mengatur tentang bagaimana prosedur pengunduran diri, seperti piagam PBB,” tegasnya.
Kedua, lanjut Hikmahanto, bila MK ternyata membatalkan pasal dari suatu peraturan perundang-undangan yang merupakan hasil transformasi suatu perjanjian internasional, maka konsekuensinya Indonesia akan dianggap tidak melaksanakan kewajibannya oleh negara lain yang mengikuti perjanjian internasional. Bila hal ini terjadi, maka Indonesia berpotensi untuk dipermasalahkan oleh negara anggota lainnya.
“Saya ingin mengingatkan ada ketentuan dalam Pasal 27 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Traktat (Vienna Convention on The Law of Treaties). Meskipun Indonesia tidak meratifikasi, tetapi sudah digunakan sebagai hukum kebiasaan, di situ disebutkan bahwa a party may not invoke provisions of its internal law as justification for each failure to perform a treaty (sebuah negara tidak boleh menggunakan ketentuan yang ada di dalam hukum domestiknya sebagai dasar untuk tidak melaksanakan atau menjalankan kewajibannya dalam perjanjian,” tandasnya. (Arif Satriantoro/LA)