JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pada Senin (22/4/2019) di Ruang Sidang Panel MK. Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 27/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan para advokat dan pengurus Peradi Jakarta Selatan, yakni Octolin Hutagalung, Nuzul Wibawa, Hernoko D. Wibowo, dan Andrijani Sulistiowati.
Dalam sidang kedua tersebut, Charles A.M. Hutagalung selaku salah seorang kuasa hukum menyampaikan beberapa perbaikan permohonan, di antaranya penyempurnaan kedudukan hukum para Pemohon, perbedaan permohonan a quo dengan sebelumnya, dan mempertegas petitum dengan mengubah format tanpa mengurangi substansi yang terkandung di dalamnya.
“Maka para Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat agar berkenan menyatakan Pasal 21 sepanjang frasa “secara langsung dan tidak langsung” Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya,” ujar Charles di hadapan sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra.
Pada sidang sebelumnya, para Pemohon menyampaikan Pasal 21 UU Tipikor tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan multitafsir sepanjang frasa “secara langsung dan tidak langsung” dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon mendalilkan penegak hukum seperti penyidik kepolisian, kejaksaan, dan KPK menjadi bebas tafsir karena tidak ada kesepahaman dan standar yang pasti mengenai waktu seorang advokat dalam hal jenis perbuatan hukum dapat diartikan sebagai perbuatan yang dimaksud sebagai perbuatan secara “langsung atau tidak langsung” dalam melakukan pembelaan kepada kliennya.
Selain itu, para Pemohon juga menyatakan penerapan ketentuan dan pengertian “setiap orang” dalam pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memandang siapa orang perorangan yang dimaksud, apakah termasuk seseorang yang berprofesi sebagai advokat sehingga seakan membungkam advokat agar melakukan pembelaan kepada kliennya secara pasif. Dengan kata lain, ketentuan terebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum dikarenakan seorang advokat seseungguhnya diberikan kebebasan untuk melakukan pembelaan terhadap kliennya dengan itikad baik, tetapi kemudian dibatasi oleh Pasal 21 UU Tipikor tersebut.
Sebelum menutup persidangan, Panel Hakim pun mengesahkan alat bukti yang diserahkan kuasa hukum para Pemohon. Adapun agenda sidang berikutnya akan disampaikan Kepaniteraan MK setelah terlebih dahulu dilakukan Rapat Permusyawaratan Hakim untuk menentukan keberlanjutan perkara a quo. (Sri Pujianti/LA)