JAKARTA, HUMAS MKRI - Kepala Biro Hukum dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK) Wiryanto menerima kunjungan para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada Senin (15/4/2019) pagi di Ruang Konferensi MK. “Mengenai alur permohonan, pengajuan permohonan 12 rangkap disertai alat bukti sesuai dengan Undang-Undang dan Peraturan MK. Namun untuk pemilu legislatif permohonannya 4 rangkap,” kata Wiryanto mengenai praktik pengujian Undang-Undang (UU) di MK.
Selanjutnya, Wiryanto menjelaskan empat Pemohon yang memiliki kedudukan hukum mengajukan permohonan berperkara ke MK. Mereka adalah perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, lembaga negara. Setelah permohonan teregistrasi barulah MK menentukan jadwal sidang bagi para Pemohon. Tahap berikutnya digelar sidang pemeriksaan pendahuluan melalui panel hakim, disampaikan inti permohonan dan kemudian hakim memberikan nasihat kepada Pemohon. Kemudian ada sidang perbaikan permohonan sesuai saran dan nasihat hakim. Berlanjut dengan sidang pembuktian yang menghadirkan para ahli, wakil Pemerintah, DPR, pihak Terkait, Termohon maupun saksi-saksi. Setelah itu hasil persidangan dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) hingga sampailah ke sidang pengucapan putusan.
Wiryanto juga membahas sejarah judicial review melalui Kasus Marbury vs Madison (1803) di Amerika Serikat. Termasuk juga disinggung sejarah pengujian Undang-Undang di Indonesia sejak masa kemerdekaan sampai pasca reformasi 1998. Lalu terbentuklah MK Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003 yang memiliki empat kewenangan yakni menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa antara lembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan hasil pemilu.
Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melanggar hukum. Di samping itu MK punya kewenangan tambahan, yaitu memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah.
Lebih lanjut, Wiryanto menanggapi implikasi putusan MK. Menurut Wiryanto, pada praktiknya implikasi putusan MK tidak sepenuhnya dilaksanakan. Pemerintah dan DPR seharusnya menindaklanjuti undang-undang yang diuji, baik mengubah sebagian isi maupun mengganti dengan Undang-Undang baru. “Namun putusan MK tidak serta merta dilaksanakan Pemerintah dan DPR. Karena MK tidak punya kewenangan untuk mengeksekusi putusannya. MK hanya menguji norma Undang-Undang, apakah bertentangan dengan Konstitusi atau tidak,” tegas Wiryanto. (Nano Tresna Arfana/LA)