Pengujian dengan mekanisme baru, Universal Periodic Review (UPR), ini terkait dengan upaya pemerintah Indonesia dalam menegakkan hak asasi manusia (HAM), yang selama ini dinilai masih lemah.
Jika tidak ada aral melintang, mulai Rabu (9/4) hingga Jumat (11/4), Indonesia akan diuji selama tiga jam di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Genewa. Pada review itu, Indonesia akan ditempatkan pada urutan kelima dalam kelompok pertama. Hal ini bukanlah suatu perlakuan diskriminatif karena berlaku untuk semua anggota PBB, sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 251/60/2006, kata juru bicara Departemen Luar Negeri Kristiarto Legowo, Senin (7/4).
Di Dewan HAM terdapat mekanisme universal periodic review di mana Dewan secara berkala dan teratur akan mengkaji catatan HAM setiap negara, yang dimulai dengan negara-negara anggota Dewan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip universalitas, tidak memihak, obyektif, dan tidak selektif dalam memilih topik atau tema HAM, serta tidak selektif untuk menargetkan negara-negara tertentu, tambahnya.
Adanya kajian periodik universal itu akan memastikan seluruh 191 negara anggota PBB, dimulai dengan anggota Dewan HAM, catatan HAM-nya akan dikaji untuk meningkatkan kondisi HAM di seluruh dunia. Pengkajian akan dilakukan oleh panel terdiri dari 47 negara anggota Dewan HAM, terkecuali anggota yang sedang dalam pengkajian dan dipimpin oleh presiden Dewan HAM.
Universal Periodic Review (UPR)
Berawal dari kekecewaan terhadap kinerja Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, para kepala negara dari seluruh penjuru dunia pada Konferensi Tingkat Tinggi Dunia, September 2005 di New York, menyepakati untuk mengakhiri kiprah Komisi HAM PBB dan menggantinya dengan Dewan HAM PBB.
Dari 191 negara anggota PBB, 170 negara anggota menyetujui dan hanya empat negara anggota yang tidak setuju terhadap resolusi pembentukan Dewan HAM tersebut, yaitu AS, Marshall Islands, Palau, dan Israel.
Menyusul kesepakatan pembentukan, pemilihan negara-negara yang akan duduk di Dewan HAM itu pun telah dilakukan 9 Mei 2006 lalu di Sidang Majelis Umum (SMU) PBB. Indonesia terpilih sebagai salah satu dari 47 negara anggota di Dewan HAM itu, dengan 165 suara dukungan atau jauh di atas syarat minimal dukungan.
Tahun-tahun pertama persidangan Dewan HAM merupakan masa yang penting dalam rangka negoisasi dan penetapan berbagai aspek-aspek prosedural Dewan HAM yang diperkirakan sarat dengan muatan politis, termasuk working methods, agenda, subsidiary bodies. Karena itu Indonesia perlu terlibat secara aktif sebagai anggota yang memiliki hak suara.
Banyak pihak, termasuk Pemerintah RI, menilai pembentukan Dewan HAM ini menandai dimulainya era baru bagi pemajuan dan perlindungan HAM. Mengapa disebut era baru? Ada sejumlah mekanisme baru yang membedakan Dewan HAM dari pendahulunya, Komisi HAM.
Salah satunya adanya mekanisme universal periodic review di mana Dewan secara berkala dan teratur akan mengkaji catatan HAM setiap negara, yang dimulai dengan negara-negara anggota Dewan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip universalitas, tidak memihak, obyektif, dan tidak selektif dalam memilih topik atau tema HAM, serta tidak selektif untuk menargetkan negara-negara tertentu.
Adanya kajian periodik universal itu akan memastikan seluruh 191 negara anggota PBB, dimulai dengan anggota Dewan HAM, catatan HAM-nya akan dikaji untuk meningkatkan kondisi HAM di seluruh dunia.
Mekanisme ini akan mengatur agar seluruh negara anggota PBB terutama negara-negara yang menjadi anggota Dewan HAM mendapatkan review selama masa keanggotaannya. Dalam kaitan ini, terdapat kemungkinan/usulan agar negara-negara anggota Dewan HAM yang memiliki masa keanggotaan satu tahun diprioritaskan untuk mendapat pelaksanaan universal periodic review.
Pertemuan-pertemuan Dewan HAM juga bisa dilaksanakan lebih sering dalam setahunnya, dengan waktu yang lebih panjang ketimbang Komisi HAM dulu. Dewan ini juga akan memiliki mekanisme yang lebih sederhana dan lebih efisien untuk menyelenggarakan pertemuan khusus guna merespons krisis HAM di suatu wilayah.
Kunci penting lainnya adalah Dewan HAM mempunyai senjata berupa sanksi kepada negara-negara anggota yang melakukan kekerasan HAM yang berat dan sistematik. Persetujuan untuk pengenaan sanksi berupa penundaan keanggotaan dalam jangka waktu tertentu itu bisa diperoleh dengan persetujuan dari dua pertiga suara.
Dewan HAM juga diharapkan akan mempertahankan mekanisme pelaporan keluhan dari lembaga-lembaga nonpemerintah, baik itu individual atau organisasi swadaya masyarakat, yang sekarang ini dikenal dengan Prosedur Khusus 1503.
Pertemuan itu mendasarkan pada tiga jenis dokumen, yaitu kompilasi rekomendasi mekanisme HAM PBB seperti hasil kunjungan Pelapor Khusus untuk Pembela HAM Hina Jilani serta Pelapor Khusus Penyiksaan Manfred Nowak dalam Dewan HAM terkait dengan kunjungan mereka ke Indonesia pada 2007 atas undangan Indonesia. Lalu ada kompilasi masukan masyarakat, yaitu masukan dari 17 LSM pemerhati HAM di Indonesia tentang pelaksanaan HAM di Indonesia dan laporan dari Pemerintah Indonesia.
Laporan pemerintah yang dibawa ke Dewan HAM PBB hanya berisikan hak anak, hak perempuan, hak sipil dan politik, reformasi TNI/Polri yang juga diulas sangat sedikit, dan berbagai peraturan yang telah dibuat pemerintah.
Laporan dari pemerintah hanya terdiri dari sekitar 20 halaman, kata Koordinator Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin kepada sejumlah wartawan terkait pelaksanaan UPR tersebut. Dalam pertemuan dengan wartawan di markas Kontras, pada Jumat (4/4) itu, hadir juga Atnike Nova Sigiri (Elsam), Bhatara Ibnu Reza (Imparsial) dan Sri Suparyati (Kontras).
Menurut Rafendi, mekanisme UPR ini untuk melihat pelaksanaan yang dilakukan Pemerintah Indonesia selama empat tahun terakhir dalam memajukan HAM di Indonesia. Indonesia telah gagal dalam memenuhi keadilan sehingga wajar kalau rakyat Indonesia mengajukan kasus-kasus pelanggaran HAM ini ke forum-forum internasional, tandasnya.
Mekanisme baru, UPR, terbentuk berdasarkan Resolusi Dewan HAM PBB 60/251, sebenarnya hampir sama dengan mekanisme Sidang Dewan HAM PBB lainnya. Bedanya, UPR, selain membahas pelanggaran HAM masa lalu, juga mengangkat isu-isu HAM terkini. Selain itu, prosedurnya lebih bagus dan tidak rumit, kata Kepala Biro Internasional Kontras Sri Suparyati.
Bila dahulu untuk mengamati kondisi HAM di suatu negara, Dewan HAM PBB harus mengirimkan Pelapor Khusus (Special Rapporteur) atas sepersetujuan presiden. Sekarang dengan mekanisme UPR, para LSM bisa menyampaikan hasil pengamatan mereka mengenai isu-isu HAM secara langsung kepada Dewan HAM PBB.
Mekanisme ini juga mengedepankan dialog sejati dan kerjasama untuk meningkatkan kapasitas suatu negara dalam melaksanakan komitmen kemajuan dan perlindungan HAM. Mekanisme ini sejalan dengan Resolusi 60/251 tertanggal 15 Maret 2006 juga tidak boleh memberatkan negara yang dikaji dan tidak boleh tumpang tindih.
Hak Bicara
Untuk pertemuan nanti, pemerintah telah mempersiapkan 20 delegasinya, termasuk Dirjen HAM dan Deplu. Untuk delegasi LSM internasional, mereka memberangkatkan 17 delegasi. Untuk LSM Indonesia hanya diwakili tiga orang, yaitu Atnike dari ELSAM, Mina Susana Setra dari Kongres Masyarakat Adat Nusantara (AMAN, red), dan saya sendiri, ujar Rafendi.
Pengiriman kembali delegasi Indonesia setelah Maret lalu mengikuti Sidang Dewan HAM PBB di Genewa dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi para LSM dalam menyampaikan uneg-unegnya. Pasalnya, selama ini pemerintah dianggap kurang sensitif terhadap aspirasi LSM. Jangankan LSM, laporan Manfred Novak dan Hina Jilani pun disangkal oleh pemerintah.
Dengan adanya mekanisme UPR yang memberikan hak bicara bagi LSM, setidaknya para LSM tersebut dapat mengemukakan keluhan, bahkan desakanya kepada pemerintah melalui mediasi internasional. Untuk UPR April ini, ada tiga fasilitator, yang salah satunya adalah Kanada tukas Sri Suparyati.
Sayangnya, dalam UPR kali ini, para LSM belum memiliki hak bicara. Baru pada Juni nanti, para LSM diberikan kesempatan untuk bicara. Meski tidak punya hak bicara, Ada banyak isu dan pertanyaan yang akan kami ajukan ke pemerintah melalui Dewan HAM PBB, tutur Rafendi.
Ada tujuh isu yang akan disampaikan para delegasi LSM Indonesia pada UPR nanti. Mulai dari isu pelanggaran HAM baik masa lalu maupun terkini. Pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi fokus perhatian NGO adalah masalah pengadilan ulang para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Leste (1999) dan impunitas para pelaku kasus Biak berdarah, Wamena, Wasior, dan Abepura, Papua. Tak ketinggalan soal pengungkapan kasus kematian Munir.
Untuk kasus terkini, terkait dengan status ratifikasi Konvensi Hak Anak yang tak kujung menjadi undang-undang. Kemudian, masalah kebebasan beragama dan berekspresi, perluasan eksplorasi sumber daya alam yang mengancam hak indigineous people (penduduk lokal) dan jaminan atas pemberlakuan undang-undang pers secara efektif. Pertanyaan lain yang ingin kami ajukan adalah masalah pengembalian berkas penyelidikan Komnas HAM oleh Kejagung, tambah Sri Suparyati.
Pada kesempatan terpisah, Komisioner Bidang Pemantauan Komnas HAM Nurcholis mengatakan bahwa selain kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, khususnya yang sedang dalam proses penyelidikan (termasuk kasus-kasus yang berkasnya dikembalikan Kejagung ke Komnas HAM), Komnas HAM juga menyoroti pengaduan masyarakat dalam enam bulan terakhir, seperti kasus pelanggaran HAM yang dilakukan aparat kepolisian dan konflik-konflik pertanahan. Itu beberapa masukan yang menjadi fokus kami, tetapi ada beberapa kasus lain seperti perburuhan dan pekerja migran, ujarnya.
Komitmen
Yang penting dari pertemuan UPR nanti adalah adanya perubahan sikap pemerintah Indonesia yang semakin komitmen di dalam menegakkan HAM. Rafendi menegaskan, Meski rekomendasi UPR tersebut sifatnya tidak memaksa dan mengikat, tapi ini merupakan suatu komitmen politik antara Indonesia dengan dunia internasional untuk menunjukan konsistensi mereka (pemerintah, red) dalam penegakan HAM.
Karena sifatnya yang tidak mengikat dan memaksa itu, penyikapan terhadap rekomendasi ini dikembalikan pada pemerintah. Mungkin ditindaklanjuti atau mungkin diacuhkan. Masalahnya tidak ada sanksi karena sifatnya hanya rekomendasi dan bukan kewajiban, tambahnya.
Nurcholis menambahkan, yang penting dari UPR ini adalah membangun kesepahaman mengenai penegakan HAM dalam level internasional. Untuk masalah rekomendasi itu dijalankan atau tidak, itu tergantung pemerintah. Setiap rekomendasi itu kan bukannya tanpa makna. Jadi, siapa pun akan bisa menggunakan rekomendasi itu dalam berbagai bentuk, termasuk Komnas HAM sendiri. Bagi Komnas HAM, rekomendasi itu sangat penting karena dapat menjadi agenda tindak lanjut, demikian Nurcholis.
Sumber www.hukumonline.com
Foto http://www.google.go.id