JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan untuk seluruhnya terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam sidang pembacaan putusan pada Senin (15/4/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Sebelumnya terhadap perkara yang dimohonkan Azam yang merupakan seorang advokat yang tergabung dalam Aliansi Anak Bangsa ini menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP sepanjang frasa “penghentian penyidikan” telah membatasi dan menghilangkan arti dari fungsi pengawasan dalam proses penegakan hukum acara pidana. Karena sejatinya, penyidikan bukan merupakan proses yang dapat dipisahkan dari penyelidikan. Penerapan frasa tersebut telah menghilangkan kepastian dan perlindungan hukum Pemohon sebagai pelapor tindak pidana.
Terhadap perkara Nomor 9/PUU-XVII/2019 tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang membacakan pertimbangan hukum menyebutkan Mahkamah terlebih dahulu perlu menguraikan sejarah lembaga praperadilan di Indonesia agar dapat mencermati pemaknaan terhadap lembaga praperadilan dalam memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia, khususnya keterkaitannya dengan konteks penyelidikan yang dapat memberi arti yang bias, terlebih apabila dihubungkan dengan konteks penyidikan.
“Secara historis, terbentuknya lembaga praperadilan tidak dapat dilepaskan dari adanya kebutuhan untuk melakukan pengawasan terhadap tindakan aparat penegak hukum yang harus tunduk di bawah pengawasan pengadilan. Namun kebutuhan untuk itu juga belum terpenuhi, bahkan dalam KUHAP yang disebut sebagai karya agung bangsa Indonesia pun hal tersebut belum diatur secara rigid,” ucap Palguna di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Berkaitan dengan proses pengawasan tersebut pula, Hakim Konstitusi Suhartoyo melanjutkan bahwa berpedoman pada Pasal 1 angka 2 KUHAP bahwa penyidik memiliki kewenangan di antaranya melakukan pemeriksaan surat, penahanan, dan mengadakan penghentian penyidikan. Dengan arti kata, tampak jelas batasan limitatif bahwa penyidikan adalah sebuah proses yang telah dimulai dengan didahului adanya tindak pidana. Adapun proses penyidikan itu sendiri merupakan upaya mengembangkan dugaan adanya tindak pidana yang telah ditemukan dengan mencari serta mengumpulkan bukti. Dengan demikian, tujuan praperadilan baru dapat terlaksana setelah terdapat kemungkinan adanya tindakan upaya paksa yang berimplikasi adanya perampasan kemerdekaan dan hal tersebut baru dimulai pada tahap penyidikan yang wilayahnya berada setelah proses penyelidikan selesai.
Konsekuensi Logis
Adapun dalil Pemohon yang menyatakan memberikan kewenangan hasil tindakan penyelidikan sama halnya memasukkan “nyawa” ke dalam tubuh penyelidikan untuk dibenarkannya tindakan upaya paksa dan perampasan kemerdekaan terhadap orang atau benda/barang sehingga membuat kabur batasan antara tindakan penyelidikan dengan penyidikan, Suhartoyo dalam membacakan pertimbangan Mahkamah menyatakan bahwa sepanjang KUHAP sebagai hukum positif masih secara tegas memisahkan tindakan penyelidikan dengan penyidikan, maka sebagai konsekuensi logis adalah tidak akan dibenarkan hal-hal yang berkaitan dengan adanya upaya paksa dan perampasan kemerdekaan terhadap benda/barang dalam tindakan penyelidikan tersebut. “Oleh karena itu, konsekuensi yuridisnya, hal yang berkaitan dengan penyelidikan tidak ada relevansinya untuk dilakukan pengujian melalui pranata praperadilan,” ujar Suhartoyo.
Meskipun hasil penyelidikan tidak dapat dilakukan pengujian melalui pranata praperadilan, tambah Suhartoyo, tidaklah kemudian menghilangkan hak pelapor untuk mengetahui proses penyelidikan kepada pihak penyelidik. Adapun Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang mencabut Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, telah menganut prinsip-prinsip transparan dan akuntabel.
Berdasarkan kedua prinsip tersebut, tidak ada alasan bagi pihak kepolisian untuk tidak memenuhi hak pelapor untuk memberikan hasil penyelidikan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, masih terdapat mekanisme untuk mempermasalahkan bagi pelapor, dengan tentunya dapat diberikan punishment apabila terbukti penyelidik tersebut melakukan pelanggaran. “Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegas Suhartoyo. (Sri Pujianti/LA)