JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Ruang Sidang Panel MK pada Senin (15/4/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang dengan agenda perbaikan permohonan ini digelar terhadap dua perkara yang teregistrasi Nomor 23/PUU-XVII/2019 dan 26/PUU-XVII/2019. Akan tetapi, terkait permohonan Nomor 23/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan calon legislatif Lucky Andriyani ini, hingga persidangan berlangsung pun baik prinsipal maupun kuasa hukum tidak hadir.
Pada permohonan Nomor 26/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan Ketua KPU Kabupaten Kepulauan Aru Victor F. Sjair (Pemohon I) dan Ketua KPU Kabupaten Maluku Tenggara Barat Johanna Joice Julita Lololuan (Pemohon II) ini, Meivri D Nirahua selaku kuasa hukum menyampaikan pihaknya mempertegas argumentasi permohonan terkait dengan kerugian spesifik yang dialami para Pemohon. Menurut Meivri, dengan jumlah anggota KPU yang hanya 5 orang dan bukan 7 orang, maka akan menambah beratnya tugas serta tanggung jawab dalam menjalankan tugas penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 yang akan dilaksanakan pada 17 April 2019 mendatang. “Hal ini tentu akan berdampak pada tidak tuntas dan tidak maksimalnya kerjaan anggota KPU yang ada karena terbatasnya kapasitas penyelenggara,“ jelas Meivri di hadapan sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan M.P. Sitompul.
Untuk itu, tambah Meivri, perlu dipertimbangkan kembali jumlah anggota KPU yang akan menyelenggarakan pemilu 2019 yang jelas berbeda dengan Pemilu 2014 lalu. Selain itu, Meivri menyatakan pula bahwa wilayah Maluku yang merupakan daerah kepulauan sehingga keberadaan daerah demikian pun akan menambah berat kerja penyelenggara pemilu.
Sebelumnya, para Pemohon permohonan Nomor 26/PUU-XVII/2019 ini mendalilkan Pasal 10 ayat (1) huruf b dan Pasal 567 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945. Pada kasus konkret, Pemohon I merupakan calon Anggota KPU Provinsi Maluku Periode 2019-2024 yang wilayah administrasinya terdiri atas wilayah kepulauan. Dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) huruf b UU Pemilu yang menyatakan anggota KPU Provinsi berjumlah 5 orang, maka menurut para Pemohon hal tersebut tidak dapat didasarkan pada kriteria jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah wilayah administrasi pemerintah. Akan tetapi harus ditentukan berdasarkan luas wilayah kepulauan dan wilayah daratan, termasuk luas lautan dan pedalamannya. Selain itu, menurut para Pemohon, jumlah anggota KPU yang demikian bagi daerah di luar Pulau Jawa memberikan beban pekerjaan menjadi lebih berat dalam melaksanakan tahapan pemilu serentak yang akan digelar pada 17 April 2019 mendatang. Sedangkan, pada daerah lain yang bukan daerah kepulauan, oleh anggota KPU wilayah tersebut dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau kendaraan bermotor. Dengan demikian, para Pemohon menilai bahwa penentuan anggota KPU Kabupaten/Kota berjumlah 3 atau 5 orang yang telah ada pada Putusan MK Nomor 38.PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 tidak lagi relevan untuk dipertahankan.
Adapun berkaitan dengan ketentuan Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu, menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 sepanjang dimaknai “tetap 5 tahun harus dihitung sampai dengan selesai Pemilihan Umum 2019”. Dalam pandangan para Pemohon, ketentuan masa jabatan tersebut yang berakhir 20 hari menjelang dilaksanakannya Pemilu 2019 dengan anggota KPU yang baru serta minim pengalaman sebagai penyelenggara pemilu tentu akan menimbulkan permasalahan teknis dalam penyelenggaraan pemilu tersebut. Untuk itu, para Pemohon memohon pada Mahkamah agar menyatakan Pasal 10 ayat (1) huruf b UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai tujuh orang serta menyatakan Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa dimaknai “lima tahun”. (Sri Pujianti/LA)