TANGERANG, HUMAS MKRI - Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman membuka Pendidikan dan Pelatihan Panitera dan Calon Panitera Pengganti di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, pada Kamis (11/4/2019), di Tangerang, Banten.
Kepada para pejabat struktural dan fungsional serta para peserta yang hadir, Anwar mengatakan bahwa pemilihan umum legislatif dan presiden/wakil presiden serentak 2019 merupakan pelaksanaan hasil putusan Mahkamah Konstitusi. Untuk menghadapi pelaksanaan pemilu serentak itu MK telah menyiapkan lima Peraturan MK.
Selain itu, Anwar menyampaikan perkembangan terakhir jadwal dan tahapan penyelenggaraan pemilu yang berubah karena terbitnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2019. Dalam PKPU tersebut, KPU memajukan jadwal rekapitulasi dan penetapan hasil rekapitulasi penghitungan suara. Anwar juga mengingatkan bahwa KPU juga telah melakukan pencoretan terhadap sejumlah calon anggota legislatif dari sebelas partai politik dan hal tersebut berpotensi menjadi perkara di MK.
Dalam kesempatan itu, Anwar juga memberikan motivasi kepada para peserta yang hadir untuk senantiasa menjaga integritas, karena MK menjadi tumpuan harapan masyarakat dalam mewujudkan keadilan.
Belajar dari Pengalaman
Dalam sesi pertama diklat tersebut, Wakil Ketua MK Aswanto menjadi pemateri Hukum Acara MK. Aswanto dalam pemaparannya mengingatkan kepada para peserta untuk mencermati putusan-putusan MK dalam sengketa hasil pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah yang telah ditangani oleh MK.
Lebih lanjut, Aswanto menjelaskan dalam perkara sebelumnya banyak dijumpai alat bukti berupa berita acara penghitungan suara yang tidak ditandatangani oleh saksi-saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Menurutnya, tidak adanya tanda tangan para saksi dalam berita acara bukan berarti penghitungan suara tersebut menjadi tidak sah. Selanjutnya Aswanto mengingatkan syarat-syarat dapat dibukanya kotak suara dimana persoalan ini pernah terjadi dalam sengketa pilkada serentak 2017.
Keabsahan alat bukti juga menjadi bahasan yang disampaikan Guru Besar Hukum Universitas Hasanuddin itu. Menurut Aswanto, panitera pengganti harus teliti dalam membedakan berkas-berkas dokumen yang digunakan dalam pilkada dengan pemilu legislatif dan pemilu Presiden/Wakil Presiden. Kemudian, jika ada caleg yang mendalilkan perolehan suara di TPS, maka yang harus menjadi bukti adalah dokumen resmi yang berasal dari KPU. “Selama ini ada para pihak yang membuat berkas sendiri mirip dengan dokumen yang resmi dikeluarkan oleh KPU,” ujar Aswanto.
Dalam kesempatan itu, Aswanto juga membagi pengalamannya dalam menangani sengketa hasil pemilu legislatif 2014. Saat itu, dirinya bersama Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi sempat dipersoalkan ke Dewan Etik MK karena dinilai lalai dalam membuat putusan. Pelapor dalam laporannya mengatakan putusan yang dibuat oleh panelnya tidak mencantumkan siapa yang berhak mendapatkan kursi. Ia menegaskan, MK dalam sengketa pemilu legislatif hanya memutus penghitungan suara yang benar, sementara untuk penetapan kursi merupakan kewenangan KPU.
Selanjutnya, Aswanto menjelaskan perbedaan lain dalam penanganan sengketa hasil penghitungan perolehan suara antara pilkada dan pemilu legislatif. Menurutnya, perkara perselisihan hasil pemilu legislatif tidak dibatasi oleh selisih perolehan suara seperti yang berlaku dalam pilkada. Aswanto mengingatkan kepada para peserta, KPU telah mencoret 300 caleg dari sebelas partai yang tersebar di berbagai provinsi dan hal tersebut juga berpotensi akan menjadi perkara di MK. Aswanto mengungkapkan, ada keadaan psikologis dari para caleg yang kalah belum puas jika belum diputus oleh MK. (Ilham/LA)