JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (11/4/2019). Pengujian UU a quo teregistrasi dengan Nomor 24/PUU-XVII/2019 dan 25/PUU-XVII/2019. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah yang diwakili Direktur Litigasi Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Ardiansyah.
Pemerintah berpendapat, pengaturan larangan pengumuman hasil survei atau jejak pendapat hasil pemilu pada masa tenang dimaksudkan bukan untuk melakukan pembatasan informasi terkait elektabilitas bagi kontestan pemilu ataupun masyarakat. Pengaturan dilakukan agar penyelenggaraan pemilihan umum dapat berjalan dengan baik dan pada akhirnya asas-asas pemilihan pemilu sebagaimana ditentukan oleh konstitusi akan tercapai secara baik.
“Pengumuman perkiraan hasil penghitungan cepat pemilu dilakukan paling cepat 2 jam setelah pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat. Pengaturan mengenai hal ini dilakukan karena adanya perbedaan waktu antara Indonesia barat, tengah, dan timur, sehingga selesainya pelaksanaan pemilu tidak bersamaan. Diharapkan dengan adanya pengaturan ini, hasil penghitungan suara cepat yang diumumkan lebih akurat karena proses pemilu di semua wilayah telah selesai,” urai Ardiansyah.
Dengan demikian menurut Pemerintah, kegiatan survei dilakukan oleh lembaga survei di masa tenang dapat mengganggu ketertiban umum dan oleh karenanya relevan jika semua pihak melakukan pelanggaran pemilu diberi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 488 sampai dengan Pasal 554 Undang-Undang Pemilu.
“Menurut Pemerintah, ketentuan-ketentuan tersebut telah memberikan kepastian hukum dan perlakuan yang adil terhadap penyelenggaraan pemilihan umum secara keseluruhan dan karenanya ketentuan a quo telah sejalan dengan amanat konstitusi. Dengan perkataan lain, ketentuan yang dimohonkan untuk diuji hanya terkait dengan masalah tanggal waktu saja dan tidak terkait dengan masalah konstitusional keberlakuan undang-undang a quo,” tandas Ardiansyah.
Sebagaimana diketahui, Perkara No. 24/PUU-XVII/2019 diajukan oleh Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI yang merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 UU Pemilu.Menurut Pemohon, dihidupkannya kembali frasa larangan pengumuman hasilsurvei atau jajak pendapat pada masa tenang dan pengumuman prakiraanhasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat duajam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian baratbeserta ketentuan pidananya dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 maka pembentuk undang-undang telah melakukan pembangkangan terhadap perintah konstitusi dan melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf (i) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik yaitu asas ketertiban dan kepastian hukum.
Padahal Pemohon secara kelembagaan telah mempersiapkan seluruh resources untuk berpartisipasi dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa” melalui pelaksanaan riset atau survei dan mempublikasikannya. Namun demikian, upaya Pemohon tersebut potensial dibatasi atau bahkan dihilangkan dengan keberlakuan pasal-pasal a quo. Meski seluruh norma dari pasal-pasal yang diujikan dalam permohonan ini telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah melalui tiga putusan yakni Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Maret 2009, juncto Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 bertanggal 3 Juli 2009, juncto Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014 bertanggal 3April 2014.
Sedangkan Perkara 25/PUU-XVII/2019 diajukan oleh para Pemohon yang terdiri atas PT Televisi Transformasi Indonesia, PT Media Televisi Indonesia, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia, PT Lativi Mediakarya, PT Indosiar Visual Mandiri, PT Indikator Politik Indonesia dan PT Cyrus Nusantara. Para Pemohon menguji pasal yang serupa dengan perkara sebelumnya yakni Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu.
Para Pemohon menjelaskan, penundaan publikasi hasil hitungan cepat justru berpotensi menimbulkan spekulasi yang tidak terkontrol seputar hasil pemilu. Terlebih pemilu tahun ini adalah pemilu perdana yang menggabungkan pilpres dan pileg dalam sejarah Indonesia. Warga pemilih pasti sangat antusias untuk segera mendapatkan informasi seputar hasil pemilu.
Menurut para Pemohon, pembatasan waktu dengan ancaman pidana soal hitungan cepat sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang diuji justru berpotensi menimbulkan berita-berita palsu (hoaks) seputar hasil pemilu. Hal ini menurut para Pemohon akan menambah beban pelaksanaan pemilu bagi penyelenggara pemilu maupun aparat hukum, serta dapat menyulitkan dalam menciptakan tujuan pemilu yang damai, tertib, adil, transparan, dan demokratis.
Sebelum mengakhiri persidangan, Ketua MK Anwar Usman meminta agar para pihak menyerahkan kesimpulan esok pada Jumat (12/4/2019). Sidang selanjutnya akan dijadwalkan pada Selasa, 16 April 2019 dengan agenda putusan. (Nano Tresna Arfana/LA)