JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (11/4/2019). Perkara yang teregistrasi Nomor 18/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo dengan mendalilkan Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Dalam sidang ketiga yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman tersebut, Direktur Litigasi Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI Ardiansyah selaku kuasa Presiden/Pemerintah menyampaikan bahwa sertifikat jaminan fidusia merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan kepercayaan yang berlaku hukum dan harus ditaati keberadaannya. Adapun kerugian hukum yang diuraikan para Pemohon dalam perkara tersebut, menurut Pemerintah, adalah suatu masalah keperdataan yang ditimbulkan oleh perselisihan antara eksekusi suatu kebendaan dalam sebuah sengketa. Adapun adanya Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan pada 24 April 2018 dengan nomor registrasi perkara 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel. yang mengabulkan gugatan Penggugat (dalam hal ini para Pemohon dalam perkara a quo) membuktikan telah terjadi perbuatan sengketa perdata.
“Jadi, pasal a quo yang didalilkan merugikan para Pemohon bukan tergolong pada kerugian konstitusional. Sehingga para Pemohon harus memahami kembali landasan pengikat para Pemohon dengan perjanjian dengan kreditur,” jelas Ardiansyah.
Di samping itu, tambah Ardiansyah, sebenarnya dalil para Pemohon juga merupakan dalil hukum keperdataan dengan objek benda yang dapat dihitungkan. Sehingga dalam hal ini, UU a quo tidak dapat diujikan karena bukan terkait dengan dalil kerugian konstitusional.
Mengajukan Perlindungan
Berkaitan kembali dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan Nomor 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel., Ardiansyah mengatakan bahwa dengan dikabulkannya gugatan Penggugat telah memberikan peluang bagi para Pemohon untuk mengajukan perlindungan hukum kembali termasuk hak kepastian hukum. “Sehingga dalam hal ini Pemerintah berpendapat, tidak terdapat kerugian konstitusional seperti yang didalilkan para Pemohon dan ini adalah masalah implimentasi norma,” jelas Ardiansyah.
Dengan demikian, tambah Ardiansyah, adanya jaminan UU terhadap aktivitas kreditur dan debitur untuk menjamin serta membantu masyarakat dan kegiatan usaha serta memberikan kemudahan pada pihak yang berkepentingan, termasuk pemberi fidusia dapat melakukan kegiatan usaha serta penerima fidusia dalam memperoleh kekuatan hukum dalam sertifikat yang dimilikinya.
Kekuatan Hukum
Terkait dengan ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU Jaminan Fidusia frasa “jaminan fidusia”, Ardiansyah menjelaskan bahwa perjanjian fidusia melibatkan jaminan, di mana adanya sertifikat fidusia timbul dari adanya keharusan memuat catatan pendaftaran jaminan fidusia. Maka, kantor pendaftaran fidusia pun berkewajiban menerbitkan. Sehingga sertifikat jaminan fidusia tersebut memiliki kekuatan hukum sebagai akta otentik. Yang tujuannya adalah melindungi kedua pihak, pemberi dan penerima jaminan fidusia secara hukum serta mengikat kedua pihak. “Jaminan fidusia merupakan hak kebendaan dan bukan perorangan dan objek fidusia umumnya benda bergerak sehingga memudahkan bagi kreditur memindahkan kebendaan itu apabila terjadi cidera janji,” terang Ardiansyah.
Pada perkara ini, para Pemohon mendalilkan dalam kasus konkret pihaknya telah mengalami tindakan pengambilan paksa mobil Toyota Alphard V Model 2.4 A/T 2004 oleh PT Astra Sedaya Finance (PT ASF). Sebelumnya, Pemohon telah melakukan Perjanjian Pembiayaan Multiguna atas penyediaan dana pembelian satu unit mobil mewah tersebut. Sesuai perjanjian yang telah disepakati, Pemohon berkewajiban membayar utang kepada PT ASF senilai Rp222.696.000 dengan cicilan selama 35 bulan dengan terhitung sejak 18 November 2016. Selama 18 November 2016 - 18 Juli 2017 Pemohon telah membayarkan angsuran secara taat. Namun, pada 10 November 2017, PT ASF mengirim perwakilan untuk mengambil kendaraan Pemohon dengan dalil wanprestasi. Atas perlakuan tersebut Pemohon mengajukan surat pengaduan atas tindakan yang dilakukan perwakilan PT ASF. Namun tidak ditanggapi hingga pada beberapa perlakuan tidak menyenangkan selanjutnya.
Menerima perlakuan tersebut, Pemohon berupaya mengambil langkah hukum dengan mengajukan perkara ke Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan pada 24 April 2018 dengan gugatan perbuatan melawan hukum dengan nomor registrasi perkara 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel. Pengadilan pun mengabulkan gugatan Pemohon dengan menyatakan PT ASF telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun pada 11 Januari 2018, PT ASF kembali melakukan penarikan paksa kendaraan Pemohon dengan disaksikan pihak kepolisian. Atas perlakuan paksa tersebut, Pemohon menilai PT ASF telah berlindung di balik pasal yang diujikan pada perkara a quo. Padahal lagi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut berkedudukan lebih tinggi dari UU a quo. Dengan demikian, para Pemohon pun berpendapat bahwa tidak ada alasan paksa yuridis apapun bagi pihak PT ASF untuk melakukan tindakan paksa termasuk atas dasar Pasal a quo.
Sebelum mengakhiri persidangan Anwar mengingatkan bahwa persidangan selanjutnya akan dijadwalkan pada Rabu, 24 April 2019 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon. (Sri Pujianti/LA)