JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Rabu (10/4/2019) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara yang teregistrasi Nomor 28/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan Viktor Santoso Tandiasa (Pemohon I) dan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (Pemohon II).
Pasal 10 huruf a UU MK yang berbunyi “... menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945“ dan Pasal 30 huruf a yang berbunyi “...pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945“ dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 29 ayat 1 huruf a yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra ini, Victor menyampaikan bahwa selaku Pemohon I yang berprofesi sebagai pengacara. Dirinya pernah berperkara di MK dalam perkara Nomor 123/PUU-XIII/2015, yang dalam putusan tersebut Mahkamah pada perkara tersebut menyatakan “memang terdapat kekosongan hakim yaitu bukan hanya tidak adanya atau tidak ditegaskannya mekanisme hukum yang dapat ditempuh oleh seseorang tersangka yang tanpa alasan yang jelas tidak segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum”, namun setelah 3 tahun berjalan sejak diputuskan pembentuk UU belum menindaklanjuti hal yang telah diputuskan Mahkamah.
“Maka telah terjadi penundaan keadilan yang sama artinya dengan menolak keadilan itu sebagaimana adagium justice delay is justice denide, padahal permohonan yang Pemohon I ajukan ada banyak warga negara yang menyandang status tersangka tanpa ada kejelasan hingga bertahun-tahun tidak mendapatkan kepastian hukum,” jelas Viktor.
Berikutnya, Zico selaku Pemohon II yang juga pernah memperjuangkan hak konstitusional melalui perkara Nomor 76/PUU-XVI/2018 dan perkara Nomor 5/PUU-XVII/2019. Dalam kedua permohonan tersebut, Pemohon II tidak mengujikan norma, tetapi menyatakan tidak dilakukannya revisi oleh pembentuk undang-undang. Terhadap ketentuan norma pasal a quo, jelas Zico, bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan bahwa mekanisme pengaduan konstitusional merupakan salah satu mekanisme perlindungan hak konstitusional warga negara melalui pengadilan tata negara (dalam hal ini MK) yang bertujuan memberikan perlindungan dengan maksimum terhadap hak-hak konstitusional warga negara. dengan demikian, sebagai bagian dari konstitusi yang merupakan hukum fundamental yang membatasi kekuasaan negara, hak konstitusional juga merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara. “Mengacu pada garis besar kewenangan MK, maka ada satu hal yang tertinggal dari MKRI yakni tidak adanya mekanisme pengaduan konstitusional,” ujar Zico.
Padahal pada negara hukum modern yang demokratis, lanjut Zico, hal demikian merupakan upaya hukum untuk menjaga martabat yang dimiliki manusia yang tidak boleh diganggu gugat agar aman dari tindakan kekuasaan negara. Selain itu, menurut para Pemohon bahwa dasar filosofis muruah MK sebagai The Guardian of Constitution menjadi suatu kontradiksi yang sangat tajam akan marwah apabila MK tidak memiliki kewenangan pengaduan konstitusional tersebut.
Untuk itu, melalui Petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan pasal a quo tetap konstitusional sepanjang frasa “menguji undang-undang” dimaknai “termasuk juga Pengaduan Konstitusional melalui pengujian undang-undang”.
Menghilangkan Kewenangan
Menanggapi permohonan para Pemohon, Saldi memberikan nasihat agar para Pemohon mempertimbangkan kembali pasal-pasal yang akan diujikan mengingat apabila norma a quo dihapuskan, maka secara tidak langsung menghilangkan kewenangan MK dalam hal pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
Terkait dengan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) yang dimohonkan para Pemohon, Suhartoyo mengharapkan agar para mempelajari kembali amanah Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang memberikan kewenangan pada MK. Sebagai contoh, Suhartoyo menyebutkan adanya konstitusional komplain pada negara Jerman karena dalam konstitusinya pun sudah diatur. Namun, tambah Suhartoyo, bagaimana dengan indonesia.
“Jadi dalam hal ini para Pemohon tidak mengaitkan dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Bagaimana bisa pada UU dan Konstitusi tidak diatur, maka bisa jadi itu Saudara menghilangkan habitat MK.Jika elaborasinya dilakukan dengan pertentanagn Pasal 24C yang tidak mengatur konstitusional komplain, jadi ada logika terbalik di sini,” terang Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo menyampaikan bahwa para Pemohon dapat menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 23 April 2019 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK untuk kemudian diagendakan sidang berikutnya. (Sri Pujianti/LA)