Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan perkara pemekaran wilayah Kabupaten Banggai yang diregistrasi dengan No. 6/PUU-VI/2008, Selasa (8/4), dengan agenda Mendengarkan Keterangan Ahli Pemohon dan Keterangan Ahli Pihak Terkait.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK, H. M. Laica Marzuki, para pemohon bersikukuh dengan pendapatnya bahwa telah terjadi kerugian secara konstitusional bagi para Pemohon karena pemindahan Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan dari Kota Banggai menjadi Kota Salakan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 UU No. 51/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Banggai Kepulauan. Guna mendukung sebagaimana yang didalilkan, para Pemohon menghadirkan dua orang Ahli.
Dalam keterangan yang disampaikannya, Haliadi Sadi, menuturkan bahwa secara historis pusat peradaban dan kebudayaan Banggai terletak di Kota Banggai. Begitu pula dalam keterangan yang disampaikan Ahli Pemohon lainnya, Muin Fahmal, mengatakan bahwa proses pembentukan UU ini tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya.
Sementara melalui keterangan tertulisnya yang dibacakan oleh Kuasa Hukum Pihak Terkait, Ahli dari Pihak Terkait, Prof. Safri Nugraha, Guru Besar dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengatakan bahwa, secara yuridis, Ibukota merupakan pusat pemerintahan (center of government) baik yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun yang ditentukan berdasarkan sejarah. Jakarta adalah contoh ibukota yang ditentukan berdasarkan sejarah. âSecara fungsional, ibukota juga berfungsi sebagai pusat perkembangan bagi daerah-daerah sekitarnya. Dan dari sisi hukum administrasi negara, ibukota merupakan domisili hukum yang merupakan pusat administrasi dan birokrasi,â baca Kuasa Hukum Pihak Terkait.
Menurut Safri, pemindahan ibukota merupakan satu hal yang sering terjadi baik pada tataran Kabupaten, Provinsi, maupun Negara. âHal tersebut dimungkinkan karena beberapa pertimbangan teknis seperti mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat. Selama pemindahan itu menghasilkan sesuatu yang baik bagi masyarakat hal tersebut perlu untuk dilakukan,â lanjutnya.
Pada akhir persidangan, Hakim Konstitusi Natabaya merasa apa yang dikatakan para Ahli baik dari Pemohon maupun dari Pihak Terkait tidak sesuai dengan substansi perkara. âPasal 11 dari UU ini didalilkan bertentangan dengan beberapa Pasal UUD 1945, antara lain Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Apa kaitannya Pasal ini dengan Pemohon? Seolah-olah Pasal ini (Pasal 11 UU No. 51/1999) bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) (UUD 1945) tersebut?â Tanya Natabaya.
Terhadap pertanyaan Natabaya, Laica meminta Pemohon menjawabnya secara tertulis. Selain itu, Laica juga meminta semua pihak membuat keterangan tertulis tentang perkara ini karena sidang selanjutnya akan mengagendakan pembacaan putusan. (Yogi Djatnika)