JAKARTA, HUMAS MKRI - Anggota Komisi III DPR Anwar Rachman menyatakan tidak ada persoalan konstitusionalitas dalam norma yang mengatur pendidikan sebagai komoditas. Hal ini dikemukakan saat sidang uji materiil Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan), Senin (8/4/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. “Yang diuji Pemohon menyangkut tentang penerapan norma. Bukan tentang masalah konstitusionalitas norma,”ujarnya.
Permohonan Nomor 16/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Reza Aldo Agusta, Mahasiswa Semester 4 Unika Atmajaya Yogyakarta. Norma yang diajukan menyatakan, “(2) Selain lingkup pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diatur jasa yang dapat diperdagangkan meliputi: d. Jasa Pendidikan.” Karena pasal tersebut, Pemohon telah dirugikan dengan semakin meningkatnya biaya pendidikan. Dengan dijadikannya jasa pendidikan sebagai komoditas perdagangan, biaya pendidikan niscaya akan meningkat karena yang menjadi tujuan bukan lagi pencerdasan, melainkan berorientasi pada keuntungan. Menurut Pemohon, tujuan penyelenggaraan pendidikan di indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tertulis pada Pembukaan UUD 1945 alinea 4.
Anwar menyatakan hakikat pendidikan Indonesia tetap tidak berorientasi mencari untung. Semisal swasta hendak mendirikan lembaga pendidikan, maka bentuknya adalah yayasan yang bersifat nirlaba dan tidak mencari untung.
Anwar menyatakan pasal yang diujikan memang menyatakan pendidikan sebagai komoditas, namun aturan tersebut tidak berdiri-sendiri dan tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
“Jadi saya tegaskan tidak ada pertentangan antar dua aturan tersebut. Keduanya saling melengkapi,” tegasnya. Anwar menyebut partisipasi public, yakni mendirikan lembaga pendidikan swasta bukan berarti pemerintah lepas tanggung jawab dalam ranah pendidikan. Namun bersifat saling melengkapi dengan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah.
Makna Berbeda
Sementara itu, Aan Eko Widiarto selaku Ahli Pemohon mengkritisi makna dua kata, yakni “jasa” dan “pendidikan”. Menurut Aan, keduanya memiliki pengertian yang bertolak belakang. “Jasa tujuannya adalah memperoleh imbalan atau kompensasi. Sedangkan pendidikan, tujuannya adalah untuk mengembangkan potensi diri agar memiliki kekuatan spiritualitas, keagamaan, pengendalian diri, dan seterusnya secara nirlaba,” tegasnya.
Sedangkan metodenya, kata Aan, jasa adalah mengalihkan hak atas jasa. Sedangkan pendidikan, metodenya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.
“Ada distorsi karena hakikat jasa dan pendidikan mempunyai orientasi yang berbeda. Kata jasa berorientasi pada perolehan keuntungan tanpa ada muatan nilai selain nilai ekonomis, sedangkan kata pendidikan berorientasi pada nilai spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, dan seterusnya untuk masyarakat, bangsa, dan negara dengan tidak menempatkan keuntungan sebagai satu-satunya tujuan,” ujarnya.
Ahli Pemohon lainnya, Hafid Abbas menegaskan pentingnya peran negara dalam ranah pendidikan. Negara harus berperan aktif karena pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Dia pun meminta aturan yang menyebut pendidikan sebagai komoditas mesti dihapus. Dua lembaga PBB, yakni ILO dan Unesco menegaskan jika pendidikan bukanlah komoditas untuk diperdagangkan. Hal ini diputuskan dalam sidang di bulan Oktober 2018 bertempat di Gedung PBB Jenewa. “Pendidikan adalah hak asasi fundamental dalam bunyi butir ke 8. Ini dicetuskan saat hari guru internasional,” tegasnya.
Dari sini, kata Abbas, Pemerintah memiliki alasan untuk mengubah aturan tersebut. Sebab sudah ada rujukannya dalam konteks internasional.(Arif Satriantoro/LA)