JAKARTA, HUMAS MKRI - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Aswanto memberikan ceramah kunci dalam Seminar Nasional Revitalisasi Ideologi Pancasila dan Implementasinya dalam Berbagai Aspek Hukum, yang berlangsung di Auditorium Prof. E Suherman, SH, Gedung H Fakultas Hukum Universitas Trisakti (Usakti), Jakarta, Jumat, (5/4/2019).
Menurut Aswanto, kerja sama dengan perguruan tinggi bagi MK sangat diuntungkan. Hal ini terkait MK sebagai peradilan yang modern. MK punya mimpi menjadi peradilan yang modern untuk menyelesaikan perkara yang ditanganinya dan orang-orang yang dirugikan haknya bisa dipulihkan kembali haknya.
Aswanto mengatakan, Indonesia berdasar Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan negara hukum. Dalam perjalanannya Indonesia tidak hanya membutuhkan sebagai negara hukum saja, tapi juga sebagai negara yang menganut rule of law atau supremasi hukum.
Kepada para peserta yang hadir, Aswanto mengungkapkan, MK memang harus hadir dalam kegiatan yang diselenggarakan atas kerja sama MK dan Universitas Trisakti ini. “MK adalah salah satu anak kandung dari reformasi dan sejarah tidak bisa kita abaikan, bahwa teman-teman dari Universitas Trisakti mengambil bagian, kalau saya bisa mengatakan terdepan dalam melakukan reformasi, oleh sebab itu bukan sekedar menjalin kerja sama begitu saja tetapi kita harus mengucapkan terima kasih dang penghargaan yang tulus kepada seluruh civitas akademika Trisakti,” katanya.
Lebih lanjut, Aswanto menjelaskan kaitan tugas dan wewenang MK dengan ideologi Pancasila. Sebagai ideologi, nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila diturunkan dalam pembukaan UUD 1945 sebagai kaidah-kaidah dasar. “Karena kita adalah negara yang mempunyai ideologi terbuka maka ideologi terbuka itu hanya mengatur atau memuat prinsip-prinsip dasar. Prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam Pancasila itu yang lalu kemudian diturunkan dalam Pembukaan UUD, dijabarkan dalam bentuk norma-norma, pasal-pasal, ayat-ayat, bagian-bagian dalam UUD 1945,” jelas pria kelahiran Palopo tersebut.
Dengan kewenangannya untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, Aswanto menjelaskan, maka MK juga berperan sebagai penjaga ideologi bangsa karena UUD 1945 adalah penjabaran dari Pembukaan UUD 1945 yang diturunkan dari Pancasila. “Jika ada norma dalam UU yang tidak sesuai dengan UUD maka dia tidak sesuai dengan pembukaan UUD, dan jika tidak sesuai dengan pembukaan berarti dia tidak sesuai dengan Pancasila,” ujar Guru Besar Hukum Universitas Hasanuddin tersebut.
Dalam kesempatan tersebut, Aswanto juga meminta kepada para hadirin untuk selalu dapat memberikan masukan dan mengawal MK agar tidak salah dalam memutus karena sifat putusan MK yang sifatnya final dan mengikat.
Karakter, Politik dan Misi Bangsa
Dalam seminar yang menghadirkan narasumber mantan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Yudi Latief dan Dosen FH Usakti Reni Dwi Purnomowati. Dalam pemaparannya, Yudi Latief menyayangkan semakin sedikitnya pembahasan tentang ideologi Pancasila, bahkan dalam debat calon presiden yang ke-empat, meski mengangkat tema ideologi Pancasila namun dalam kenyataannya pembahasannya hanya diberi porsi waktu yang sedikit.
Selain itu, Yudi juga mengingatkan banyaknya peradaban yang runtuh karena tidak didukung dengan etos, yakni mental dan karakter yang kuat. Yudi memberikan contoh bagaimana Inggris sebagai pemenang perang dunia kedua dengan pesawat-pesawatnya yang canggih harus kalah di Surabaya hanya dalam jangka waktu satu hari oleh para pejuang yang hanya memiliki senjata apa adanya.
Berbicara mengenai karakter, Yudi menjelaskan jika sila pertama, kedua dan ketiga Pancasila merupakan landasan karakter dan budaya dari bangsa Indonesia, sementara sila kelima merupakan misi dari bangsa Indonesia. Menurut Yudi, sila keempat merupakan perpaduan antara sila ketiga dan kelima dari Pancasila, sebagai ranah politik dan tatanan hukum pengelolaan negara.
Lebih lanjut Yudi menjelaskan, jika tatanan hukum menyebabkan perpecahan dan mengakibatkan kesenjangan di antara masyarakat, berarti ada sesuatu yang salah. Mencermati pasal 33 UUD 1945, Yudi berpandangan bahwa ketentuan tersebut sebenarnya mengatur konsep kepemilikan yang seharusnya dijalankan secara kooperatif baik oleh negara maupun swasta, sehingga tidak boleh dikuasai seluruhnya dari hulu hingga hilir, baik oleh negara maupun swasta. (Ilham/LA)