JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan perkara yang dimohonkan Palaloi, Abdul Rasyid, Sitefano Gulo, dan Alex serta Melianus Laoli dalam sidang pengucapan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (28/3/2019). Para Pemohon mendalilkan Pasal 92 ayat (2) huruf c frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” bertentangan dengan UUD 1945.
Sebelumnya ,para Pemohon menyampaikan pemilu yang berintegritas dan bermartabat tidak akan terlaksana secara maksimal mengingat jumlah penyelenggara 5 berbanding 3 orang jumlah Bawaslu yang harus melaksanakan penyelenggaraan pemilu. Penambahan personil tersebut dinilai perlu untuk mengimbangi personil atau anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dalam pengawasan guna tercapainya pemilu yang demokratis. Selain itu, menurut para Pemohon, dalam penyelenggaraan Pemilu 2019, akan terdapat beban kerja yang banyak dan rumit sehingga dikhawatirkan pelanggaran terkait pemilu bertumpu pada Bawaslu Kabupaten/Kota.
Dalam pertimbangan hukum terhadap perkara yang teregistrasi Nomor 93/PUU-XVI/2018 ini, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyebutkan perkara a quo memiliki kemiripan dari aspek materi yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dengan Putusan Nomor 31/PUU-XVI/2018 mengenai jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota. Para Pemohon menilai berat jika memiliki jumlah anggota Bawaslu hanya tiga orang sehingga dapat mengganggu berjalannya pemilu secara jujur dan adil sesuai dengan amanat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Sebagai rujukan perbandingan, Mahkamah memberikan pertimbangan terhadap pokok permohonan para Pemohon dalam perkara a quo dengan dengan Putusan Nomor 31/PUU-XVI/2018.
Mengenai penentuan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak tiga atau lima, menurut para Pemohon merupakan pilihan kebijakan yang tidak memiliki landasan hukum yang kuat karena hanya mendasarkan pada faktor perbedaan geografis. Menurut Mahkamah, suatu kebijakan hukum merupakan ranah kebebasan pembentuk undang-undang sehingga ketika suatu kebijakan hukum yang berisi norma yang tidak dimuat secara eksplisit dalam UUD 1945, maka tidak serta merta hal tersebut dapat dinilai tidak berdasar hukum. Batasan kebijakan yang dibentuk merupakan kebijakan hukum terbuka yang berkesesuaian dengan moralitas, rasionalitas, dan tidak mengandung ketidakadilan yang intolerable. Sehubungan dengan itu, tambah Suhartoyo, perlu ditegaskan bahwa penentuan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak tiga atau lima orang tidak bertentangan dengan moralitas.
“Dalam hal ini, Mahkamah tidak melihat adanya ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi dari kebijakan pembentuk undang-undang yang menentukan jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota. Artinya, tidak terakomodasinya kepentingan atau keinginan para Pemohon dengan berlakunya Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu beserta penjelasan dan lampirannya, tidaklah menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi,” jelas Suhartoyo.
Sementara itu, rasionalitas jumlah anggota Bawaslu Kabupaten/Kota harus dipahami para Pemohon bahwa dalam posisi KPU dan Bawaslu sebagai satu kesatuan penyelenggara pemilu dengan tugas dan wewenang masing-masing. KPU dan jajarannya bertugas melaksanakan pemilu, sedangkan Bawaslu dan jajarannya bertugas mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu. Sekalipun kedua instansi penyelenggara pemilu tersebut dimaksudkan sebagai satu kesatuan penyelenggara pemilu, namun keduanya berbeda. “Dalam arti, proporsional jumlah keanggotaan KPU Kabupaten/Kota dan Bawaslu tidak harus sama sehingga kebijakan pembentuk undang-undang dapat menyesuaikannya dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja masing-masing sesuai kebutuhan institusi. Dengan demikian, kebijakan penentuan jumlah anggota Bawaslu tersebut adalah kebijakan yang rasional,” tegas Suhartoyo.
Profesionalitas Kerja
Selanjutnya, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyatakan terkait dengan pertimbangan profesionalitas beban kerja dan profesionalitas Bawaslu Kabupaten/Kota yang tidak mengharuskan adanya penambahan jumlah anggota, maka pertimbangan penambahan beban anggaran menjadi relevan. Dalam konteks ini, tambah Palguna, penambahan jumlah anggota yang beban kerjanya secara rasional tidak membutuhkan penambahan akan membenani anggaran negara. Berbeda halnya jika penambahan jumlah anggota yang dimaksud memiliki nilai logis karena profesionalitas penyelenggara lebih penting dibanding mempertimbangkan anggaran semata.
“Sehingga menjadikan jumlah anggota Bawaslu seluruh Kabupaten/Kota berjumlah lima orang tidak memiliki urgensi nyata untuk menopang profesionalitas kerja Bawaslu Kabupaten/Kota, bahkan penambahan dimaksud justru akan menambah beban anggaran negara,” terang Palguna.
Di samping itu, berkaitan dengan dasar pemikiran apabila pasal a quo dipertahankan akan mengganggu berjalannya pemilu yang jujur dan adil, Mahkamah menilai hal tersebut tidaklah terletak pada jumlah anggota, tetapi tergantung pada integritas, kemandirian, dan optimalisasi koordinasi penyelenggara pemilu. “Oleh karena itu, secara substansial permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” jelas Palguna. (Sri Pujianti/LA)