JAKARTA, HUMAS MKRI - Kepala Biro Hukum Kementerian Perdagangan Sri Hariyati menepis anggapan jika pendidikan akan menjadi barang privat dan negara menjadi lepas tangan terkait sektor ini. Hal tersebut dikemukakan saat sidang uji Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Perdagangan (UU Perdagangan), pada Rabu (27/3/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan ini diajukan oleh Reza Aldo Agusta, mahasiswa semester 4 Unika Atmajaya Yogyakarta. Norma yang diajukan menyatakan,“(2) Selain lingkup pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diatur jasa yang dapat diperdagangkan meliputi: d. Jasa Pendidikan.” Karena pasal tersebut, Pemohon telah dirugikan dengan semakin meningkatnya biaya pendidikan. Dengan dijadikannya jasa pendidikan sebagai komoditas perdagangan, biaya pendidikan niscaya akan meningkat karena yang menjadi tujuan bukan lagi pencerdasan, melainkan berorientasi pada keuntungan. Menurut Pemohon, tujuan penyelenggaraan pendidikan di indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tertulis pada Pembukaan UUD 1945 alinea 4.
Sebagai perwakilan Pemerintah, Sri menyatakan negara mengambil peran dalam penyusunan kebijakan terkait penyediaan, standardisasi, akreditasi, serta hal lainnya di sektor pendidikan. Di sisi lain, pemerintah juga melakukan kebijakan anggaran 20% APBN untuk pendidikan. Dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, kata dia, pemerintah juga memberikan bantuan dana operasional. Misal bantuan operasional sekolah, bantuan operasional perguruan tinggi negeri, dan program pembinaan perguruan tinggi swasta.
Tak hanya itu, Sri menegaskan Pemerintah dan DPR pada 2010 melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara perubahan tahun 2010 Undang-Undang APBNP tahun 2010 menyepakati sebagian anggaran alokasi dana fungsi pendidikan dalam APBNP dijadikan sebagai Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN), yakni dikelola dengan mekanisme pengelolaan dana abadi oleh sebuah badan layanan umum.
“Begitu juga Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.01/2011,tanggal 28 Desember 2011, menetapkan organisasi dan tata kelola Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) sebagai sebuah lembaga non-eselon yang langsung bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan dan berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan oleh Dewan Penyantun LPDP, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama. Kebijakan tersebut adalah bentuk kehadiran negara untuk menyediakan anggaran guna memenuhi penyelenggaraan pendidikan nasional,” tegasnya menanggapi permohonan Nomor 16/PUU-XVII/2019.
Sumber pembiayaan pendidikan secara makro, kata Sri, telah diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengamanatkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan. Artinya, pembiayaan pendidikan tidak boleh lepas dari kebijakan keuangan negara.
Di sisi lain, Sri tidak menampik jika pasal yang diuji menggolongkan pendidikan merupakan salah satu jenis jasa yang dapat diperdagangkan.Namun tetap ada ketentuan pengaturan yang membatasi. “Pengaturan pembatasan tersebut diatur melalui peraturan sektoral di setiap bidang jasa. Untuk jasa pendidikan, pengaturan lebih jelasnya telah diatur di dalam Undang-Undang Sisdiknas dan Undang-Undang Pendidikan Tinggi,” ujarnya.
Sri juga menyatakan jasa pendidikan merupakan salah satu komponen dari sistem pendidikan nasional dan bukan merupakan keseluruhan dari sistem pendidikan nasional itu sendiri. Konsep sistem pendidikan nasional secara jelas dan nyata telah diatur di dalam Undang-Undang Sisdiknas dan Undang-Undang Pendidikan Tinggi. Menjadi tidak tepat apabila pencantuman jasa pendidikan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Perdagangan didalilkan sebagai upaya dualisme terhadap sistem pendidikan. “Undang-Undang Perdagangan sama sekali tidak mengatur mengenai sistem pendidikan nasional, sehingga tidak menimbulkan dualisme sistem pendidikan nasional,” tegasnya.
Terkait jasa pendidikan dapat disediakan pihak swasta, kata Sri, karena bersifat quasi public goods, yakni untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap barang publik yang tidak dapat disediakan pemerintah. Misalnya, karena keterbatasan anggaran pendidikan untuk menyediakan kualitas pendidikan yang lebih optimal.
Jasa yang Diperdagangkan
Terakhir, Sri menjelaskan sejarah bagaimana pendidikan dapat digolongkan sebagai jasa yang dapat diperdagangkan. Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) telah mengesahkan perjanjian Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). “Dengan berlakunya undang-undang tersebut, maka ketentuan WTO yang salah satunya mengatur mengenai perdagangan jasa (General Agreement on Trade in Services/GATS) harus dilaksanakan. Dimana pendidikan juga termasuk dalam jasa perdagangan,” ujarnya.
Jasa pendidikan, jelas Sri, merupakan salah satu dari 12 sektor jasa yang terdapat di GATS. Perjanjian GATS mengikat anggota WTO untuk menghilangkan hambatan perdagangan dan investasi dalam sektor jasa termasuk jasa pendidikan.
“Untuk mendorong perdagangan jasa, pemerintah memberikan izin penyelenggaraan kepada pihak swasta/masyarakat umum untuk mengelola sebagian. Sedangkan pemerintah dapat menderegulasi sektor jasa publik dalam rangka memperkuat komitmen dalam sektor perdangan jasa yang relevan berdasarkan GATS,” tegasnya. (Arif Satriantoro/LA)