Jakarta, hukumonline - Semasa menjadi anggota Dewan, Mahfud ikut meneken pendapat hukum DPR bahwa UU Perfilman tak melanggar konstitusi. Kini, ia sudah menjadi hakim yang harus memutus perkara tersebut. Apakah Mahfud konsisten?
Kalimat itu terucap dengan jelas. Para hakim pun menyimaknya. âMajelis yang Mulia, keberadaan Pasal 1 angka 4 Pasal 33 dan Pasal 34 UU No. 8 Tahun 1992 sesungguhnya tidak bertentangan sama sekali dengan konstitusi kitaâ.
Kalimat ini merupakan penggalan sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas pengujian UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Sikap Dewan dibacakan anggota Komisi III, Lukman Hakim Saefuddin. Politisi PPP ini tidak sendirian mewakili DPR ke sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Di sebelahnya duduk Prof. Moh. Mahfud MD, juga anggota Komisi III DPR.
Waktu berputar. Prof. Mahfud sudah tak lagi bertugas di Senayan. Kini ia bersinggasana di Gedung MK, sebagai hakim konstitusi. Ketika Mahfud beralih tugas, judicial review UU Perfilman belum juga kelar. Agenda uji materi UU Perfilman memang sudah memasuki tahap akhir. Tetapi karena jabatannya, Mahfud harus ikut menangani dan memutus perkara ini. Lalu, bukankah di situ ada konflik kepentingan?
Prof. Mahfud pun tampaknya menyadari potensi konflik kepentingan begitu ia diangkat menjadi hakim. Sebab, ia mengakui ikut meneken sikap DPR merespon pengujian UU Perfilman. âSaya sedikit memiliki conflict of interest,â akunya usai serah terima jabatan dengan Hakim Konstitusi Achmad Roestandi.
Soal bagaimana ia harus bersikap, Mahfud berjanji membicarakannya dengan hakim-hakim konstitusi lain. Salah satu hakim, Jimly Asshiddiqie, mencoba memberikan solusi. Bahan-bahan hakim Achmad Roestandi sepanjang mengenai perkara UU Perfilman akan diserahkan kepada Mahfud. Meskipun, Jimly mewanti-wanti, pandangan Roestandi tidak mengikat Mahfud.
Menurut Jimly, tidak ada masalah meskipun posisi Mahfud kini berbeda dari sebelumnya. Sebagai hakim konstitusi, Mahfud harus menunjukkan sikap kenegarawanan, bukan politisi lagi. Karena itu, Jimly yakin bisa saja Mahfud berubah pandangan. âBisa saja dia âinsyafâ dan berubah pikiran,â ujar Ketua MK ini.
Ketika masih menjadi anggota DPR, Mahfud mendukung opini yang menganggap sensor masih tetap dibutuhkan. Bagi Jimly, opini demikian bukan mewakili pandangan pribadi Mahfud, melainkan institusi DPR. Dalam sidang MK, anggota yang mewakili Dewan memang bertugas mempertahankan Wet yang telah mereka buat. Namun, antara sikap institusi dengan pendapat pribadi memang dimungkinkan berbeda.
Berdasarkan catatan hukumonline, anggota DPR dari PKB Nursyahbani Katjasungkana, juga pernah punya pandangan berbeda sebagai anggota DPR dan sebagai pribadi. Kala itu, MK sedang menggelar sidang pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya klausul calon perseorangan. Nursyahbani datang ke sidang mewakili DPR. Ia pun membacakan sikap DPR yang menolak kehadiran calon perseorangan. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, secara pribadi ia mengaku sangat setuju dengan hadirnya calon perseorangan. Sikap itu dia ungkapkan di luar persidangan.
Mahfud sendiri berusaha untuk konsisten dalam memberikan pendapat hukum. Meski tak memastikan pandangannya secara eksplisit, Mahfud menyiratkan bahwa sikapnya tak akan berubah. âKalau saya memutuskan (sebagai hakim konstitusi,-red) sudah pasti sikapnya saya seperti itu,â tegasnya.
Menurut Jimly, Prof. Mahfud tak perlu mengungkapkan terburu-buru pandangannya sebagai hakim konstitusi atas kasus tertentu. Sebab, masih dimungkinkan berubah ketika terjadi perdebatan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam perdebatan itu, bisa saja seorang hakim mengikuti pandangan hakim lain.
Pandangan seorang hakim mungkin dapat dirujuk pada legal opinion yang pernah ia buat. Bisa juga dari buku-buku yang dia tulis. Namun, Jimly mengingatkan, buah pikiran yang tertuang di dalam buku belum tentu sama ketika dihadapkan pada kasus. âBelum tentu pendapatnya sama,â kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia itu.
Ditambahkan Jimly, perubahan pandangan hakim terhadap suatu hal tak berarti menunjukan inkonsistensi dan integritas buruk seorang hakim. Pendapat hakim dalam sebuah buku hanya berasal dari satu sisi. Kalau sudah dalam RPH ada take and give antar hakim; masing-masing memberikan masukan.
Dihubungi terpisah, Mantan Koordinator Staf Ahli MK Irmanputra Sidin berpendapat senada dengan Jimly. Menurut Irman, konstruksi dipilihnya masing-masing tiga hakim konstitusi dari MA, DPR, dan Pemerintah memang bertujuan untuk mengawal politik hukum masing-masing lembaga. Jadi, menurut Irman, tak masalah bila Mahfud memutus seperti yang diungkapkannya ketika membacakan politik hukum DPR.
Hanya, tegas Irman, DPR sering kebablasan ketika berada di MK. âSelama ini DPR keliru, setiap UU dia pertahankan,â tegasnya. âUU buatan zaman Belanda pun mereka pertahankan,â tambahnya. Dalam hal ini, UU Perfilman juga diundangkan jauh sebelum anggota DPR saat ini berkiprah di parlemen, tahun 1992.
Akil
Uniknya, meski Jimly dan Irman sepakat tak ada persoalan bagi Mahfud bila ikut memutus UU Perfilman, keduanya tak ingin kejadian serupa terulang. Terutama, terhadap Akil Mochtar yang akan menggantikan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Agustus 2008. Jimly menganjurkan agar Akil tak lagi menjadi kuasa hukum DPR dalam proses beracara di MK. âSaya ikut menganjurkan supaya tak jadi kuasa lagi sampai bulan Agustus,â jelasnya. âSupaya tak ada conflict of interest,â alasannya.
Bersama dengan Mahfud, Akil memang kerap hadir menjadi kuasa hukum DPR di MK. Selain mereka, anggota Komisi III yang kerap nongol di Jl. Medan Merdeka Barat No 7 adalah Lukman Hakim dan Patrialis Akbar. Jimly mengakui memang secara yuridis tak ada larangan bagi Akil untuk hadir. âTapi ini masalah etika. Ini soal kepantasan,â ujarnya. âSecara moral dia sudah akan menjadi hakim konstitusi, tinggal tunggu waktu,â tambahnya.
Irman lagi-lagi sependapat dengan mantan bos nya ini. âSebaiknya dia (Akil) tak komentar lagi do MK, walau secara yuridis dia masih bisa,â ujarnya. Lagipula, jelasnya, jumlah anggota DPR kan ada 550 orang. âBiarkan saja orang lain yang mewakili,â katanya.(Ali)
Sumber www.hukumonline.com
Foto Dokumentasi Humas MK