JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan uji Pasal 458 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pada Rabu (27/3/2019). Agenda sidang Perkara Nomor 21/PUU-XVII/2019, yakni mendengar perbaikan permohonan.
Perkara diajukan oleh advokat Petrus Bala Pattayona. Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu menyebutkan bahwa Penyelenggara Pemilu yang diadukan harus datang sendiri dalam sidang Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain. Pemohon menjelaskan pasal tersebut mengakibatkan Pemohon sebagai Kuasa Hukum tidak dapat menjalankan pekerjaan, telah kehilangan hak untuk mendapat imbalan atau pekerjaan atau penghasilan dan perlakuan yang adil serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai kuasa hukum.
Pemohon berharap dengan adanya tafsiran dari Mahkamah Konstitusi, maka kerugian yang dialami Pemohon tidak terjadi lagi. Diharapkan advokat tidak terkendala dengan adanya pembatasan-pembatasan dalam Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu karena adanya frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” telah merugikan Pemohon.
Saat sidang, Petrus menyatakan telah memperbaiki kedudukan hukum Pemohon. Hak konstitusional Pemohon dianggap oleh Pemohon telah dirugikan. Selain itu, kerugian konstitusional Pemohon bersifat spesifik serta hubungan sebab-akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang diuji. “Kemungkinan bahwa dengan dikabulkan Permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan terjadi lagi,” ujarnya menegaskan.
Di sisi lain, Petrus telah menghapus keterangan sebagai wajib pajak. Petrus juga menyebut frasa mengenai “tidak dapat dikuasakan”, telah diuraikan bahwa itu bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
“Hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Advokat, yaitu Pasal 1, Pasal 2, Pasal 15, Pasal 18, Pasal 21, dan Undang-Undang Bantuan Hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011,” jelasnya.
Terakhir, Petrus menegaskan jika sidang etik di DKPP bisa digolongkan juga sebagai sidang pada umumnya yang menyentuh sisi hukum. Pemohon mengutip tulisan Jimly Asshiddiqie bahwa persidangan di DKPP bukan hanya sekadar persidangan etik, tetapi merupakan persidangan semi yang menurut Pemohon merupakan peradilan semu dalam hal etik
“Ini dijelaskan beliau dalam tulisan atau dalam bukunya Pedoman Beracara di DKPP yang menjelaskan bahwa persidangan di DKPP telah menerapkan prinsip-prinsip peradilan, seperti adanya prinsip audi et alteram partem, prinsip independensi,” tegasnya.
Bahwa, kata Petrus, penegakan sidang etik di DKPP, menurut Jimly Asshiddiqie, tidak hanya sekadar masalah etika, tapi juga menjadi masalah hukum.” Hal ini ditandai dengan ciri-ciri suatu peradilan yang baik, seperti peradilan pidana, perdata, atau TUN. Karena untuk membuktikan bersalahnya seseorang melanggar etik dibuktikan melalui prosedur hukum atau due process of law. (Arif Satriantoro/LA)