JAKARTA, HUMAS MKRI - Pengujian Materiil Pasal 24 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 75 huruf a, dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (27/3/2019) siang.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 22/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Guntoro. Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 24 UU Jabatan Notaris karena sebagian substansi pasal tersebut dibatasi oleh peraturan di bawah Undang-Undang yang mulai berlaku sejak 20 April 2016. Akibat adanya pembatasan tersebut, Pemohon tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) menurut Pasal 24 UU Jabatan Notaris, padahal telah terjadi putusan praperadilan yang menyimpang secara fundamental dan fair trial dilanggar. Menurut Pemohon, ini mengakibatkan kerugian konstitusional selain Pemohon, seluruh warga negara turut dirugikan dalam hal hak untuk mendapat keamanan, kedamaiandan ketenteraman hidup, karena putusan praperadilan tersebut mengabulkan penghentian penyidikan suatu tindak pidana delik murni;
Pasal 24 UU Kehakiman menyebutkan, “(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.” (2) “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.”
“Saya juga merasa dirugikan secara materiil dan immateriil atas penyalahgunaan blangko palsu akta jual beli hak atas tanah dan sebuah akta jual beli No. 09/2016 yang dibuat oleh notaris PPAT Nurhayati tidak menurut tata cara dan tata aturan sesuai undang-undang. Saya merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 66 ayat (1) dan (4), Pasal 75 huruf a, Pasal 79 UU No. 2/2014 sebagai perubahan UU No. 30/2004 karena Majelis Kehormatan Notaris (MKN) tidak berkenan menerbitkan surat persetujuan memeriksa notaris. Ini mengakibatkan penyidik tidak dapat bekerja dengan benar, sedangkan Majelis Pengawas Wilayah (MPW) Jabar tidak membuat keputusan meski sidang etik telah diselenggarakan oleh MPW Jabar sejak 5 Juni 2018,” papar Guntoro kepada Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris menyebutkan, “Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan notaris berwenang: a. mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; dan b. memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.”
(4) “Dalam hal majelis kehormatan notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Nnotaris dianggap menerima permintaan persetujuan.”
Profesi notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) seyogianya bukan hanya untuk kepentingan kepastian hukum dan perlindungan bagi profesi notaris PPAT sebagai pejabat umum. Sebab menurut esensi dari Ethics of Rights dan Ethics of Care di negara demokrasi besar seperti Republik Indonesia, yang paling utama sebenarnya adalah bagaimana profesi Notaris PPAT dapat memberikan jaminan atas kepastian dan perlindungan hukum, kemanfaatan dan keadilan bagi seluruh masyarakat secara luas. Di sinilah pentingnya optimalisasi penegakan hukum dan penegakan etika sebagai bagian dari kedudukan notaris PPAT dalam negara.
Menurut Pemohon, hasil revisi Pasal 66 ayat (1) UU No. 2/2014 tetap bertentangan dengan konstitusi karena hanya merubah frasa “Majelis Pengawas Daerah menjadi Majelis Kehormatan Notaris”. Sebab substansi pokoknya justru malah makin telak menyulitkan tugas penyidik, penuntut umum, atau hakim, utamanya di seluruh daerah luar kota provinsi. MKN tersebut hanya terdapat di ibukota provinsi, selain di ibukota negara. Dalam kenyataannya, MKN selain tidak berkenan membuat surat persetujuan memeriksa notaris dan yang terjadi malah saling tunjuk menunjuk ke Majelis Pengawas Notaris Pusat (MPPN). Sedangkan Ketua MPPN tidak mengambil langkah konkret terhadap tidak dibuatnya putusan oleh MPW Jabar meski sidang etik telah diselenggarakan sejak 5 Juni 2018, Sekretaris MPW Jabar saling tunjuk ke KPK pula karena terkait Operasi Tangkat Tangan (OTT) terhadap Kalapas Sukamiskin sehingga Ketua MPW Jabar yang merangkap Kakanwil Jabar turut dicopot.
Terhadap dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo menilai permohonan Pemohon membingungkan. “Kalau Bapak mengalami kerugian materiil dan formil tadi, bukan kemudian undang-undangnya yang dimohonkan. Seolah-olah ini ada pengujian formil dan materiil. Pak Guntoro, kalau merasa yang merugikan Bapak itu hanya pasal, jangan undang-undangnya yang minta dinyatakan bertentangan. Itu namanya pengujian formil,” kata Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menganggap permohonan Pemohon tidak sistematis, penyusunannya kurang teratur dan bahasanya sulit dipahami. “Jangan sampai hanya Pak Guntoro yang memahami apa yang diajukan. Tapi kemudian pihak lain, apalagi hakim tidak paham dengan apa yang diajukan. Sebaiknya memang Pak Guntoro melihat contoh-contoh perkara, boleh dari putusan yang sudah ada. Juga bagaimana sebetulnya menulis sebuah permohonan pengujian undang-undang,” tegas Enny. (Nano Tresna Arfana/LA)