JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil aturan mengenai definisi produk halal sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Putusan Nomor 8/PUU-XVII/2019 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman didampingi oleh hakim konstitusi lainnya pada Selasa (26/3/2019) siang. Paustinus Siburian yang berprofesi sebagai konsultan hukum produk halal tercatat sebagai Pemohon Nomor 8/PUU-XVII/2019 tersebut.
Dalam permohonannya, Pemohon menilai UU JPH menyamaratakan semua agama sebagai mengenal konsep haram dan setiap orang perlu jaminan halal, seperti termuat dalam tujuan UU JPH justru bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Pemohon berpendapat bahwa Pasal 4 UU JPH menimbulkan ketidakpastian mengenai apa sebenarnya yang menjadi target dari UU a quo, yang wajib bersertifikat halal. Kewajiban mencantumkan keterangan tidak halal pada kemasan produk atau pada produk itu sendiri sangat merugikan Pemohon. Pemohon berpendapat seharusnya ditegaskan tidak halal itu untuk siapa. Tidak halal menurut syariat Islam tidak berarti tidak halal menurut agama/kelompok lain. Jika dalam kemasan atau bagian produk hanya disebutkan “tidak halal”. Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan bahwa pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Mahkamah berpendapat adanya ketentuan jaminan produk halal bukan merupakan upaya menerapkan syariat Islam kepada semua masyarakat termasuk masyarakat non-muslim. Secara sosiologis UU JPH bertujuan memberikan perlindungan hukum berupa jaminan kehalalan produk yang dikonsumsi atau digunakan bagi umat Islam sesuai dengan ajaran agamanya. “Namun demikian tidak berarti dengan adanya produk yang dijamin kehalalannya akan menyebabkan terhalangnya masyarakat yang ingin mengkonsumsi produk tidak halal,” ujar Wahiduddin.
Secara konstitusional, lanjut Wahiduddin, diberlakukannya UU JPH merupakan manifestasi tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan hak masyarakat atas jaminan hidup yang sehat dan terlindungi dalam beribadah sesuai dengan ajaran agamanya sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945. Dalam memenuhi kebutuhannya, seorang muslim harus memenuhi tuntutan syariat Islam yang mengharamkan produk tertentu dikonsumsi. Oleh karenanya tanpa ada undang-undang yang mengatur tuntutan kebutuhan tersebut akan menyebabkan kesulitan bagi masyarakat muslim untuk memenuhi tuntunan syariat Islam. Dengan demikian, tidak ada kaitan sama sekali pemberlakuan UU 33/2014 dengan upaya menerapkan syariat Islam kepada seluruh masyarakat termasuk masyarakat nonmuslim sebagaimana dikuatirkan Pemohon.
“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, seluruh permohonan Pemohon berkenaan dengan norma dalam UU 33/2014 yang diajukan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum,” tandas Wahiduddin. (Lulu Anjarsari)