JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, di Ruang Sidang Panel MK pada Selasa (26/3/2019). Perkara yang teregistrasi Nomor 18/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo ini mendalilkan Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam sidang kedua dengan agenda perbaikan permohonan ini, Veri Junaidi selaku kuasa hukum para Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan, di antaranya penambahan pasal pengujian yakni Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang pada intinya seluruh tindakan harus melalui proses hukum yang jelas. Menurut Veri, berdasarkan latar belakang dan ruang lingkup hak eksekutorial yang ada pasal a quo, melalui pertimbangan hukum, pasal a quo lahir pada masa krisis ekonomi sehingga dibutuhkan jaminan dalam pemberian kredit. Untuk menguatkan eksekutor, tambah Veri, maka lahirlah pasal a quo dan sertifikat fidusia. Namun demikian, ketentuan pasal a quo, luput dari pemberian kepastian hukum yang adil.
“Sehingga luput pula menjelaskan kedudukan sertifikat fidusia jika dihadapkan dengan putusan pengadilan atau mekanisme cidera janji apakah itu hanya sepihak kreditur padahal ini melibatkan dua pihak debitur dan kreditur. Jadi, ada mekanisme hukum yang tidak dijalankan berupa proses eksekusi untuk memberikan jaminan hukum bagi kedua belah pihak,” jelas Veri di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih.
Selain itu, Veri juga menyampaikan bahwa argumentasi berikut dari kerugian konstitusional para Pemohon berupa adanya prinsip ketidakpastian hukum. Dalam pandangan para Pemohon melihat lebih istimewa sertifikat fidusia dibanding dengan putusan pengadilan. Kemudian, jelas Veri, apakah sertifikat jaminan dapat mengeksekutori dan mengesampingkan putusan pengadilan, meskipun belum memiliki kekuatan hukum mengikat. Untuk itu, melalui petitum para Pemohon menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945.
Pada perkara ini, para Pemohon mendalilkan dalam kasus konkret pihaknya telah mengalami tindakan pengambilan paksa mobil Toyota Alphard V Model 2.4 A/T 2004 oleh PT Astra Sedaya Finance (PT ASF). Sebelumnya, Pemohon telah melakukan Perjanjian Pembiayaan Multiguna atas penyediaan dana pembelian satu unit mobil mewah tersebut. Sesuai perjanjian yang telah disepakati, Pemohon berkewajiban membayar utang kepada PT ASF senilai Rp222.696.000 dengan cicilan selama 35 bulan dengan terhitung sejak 18 November 2016. Selama 18 November 2016 – 18 Juli 2017 Pemohon telah membayarkan angsuran secara taat. Namun, pada 10 November 2017, PT ASF mengirim perwakilan untuk mengambil kendaraan Pemohon dengan dalil wanprestasi. Atas perlakuan tersebut Pemohon mengajukan surat pengaduan atas tindakan yang dilakukan perwakilan PT ASF. Namun tidak ditanggapi hingga pada beberapa perlakuan tidak menyenangkan selanjutnya.
Menerima perlakuan tersebut, Pemohon berupaya mengambil langkah hukum dengan mengajukan perkara ke Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan pada 24 April 2018 dengan gugatan perbuatan melawan hukum dengan nomor registrasi perkara 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel. Pengadilan pun mengabulkan gugatan Pemohon dengan menyatakan PT ASF telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun pada 11 Januari 2018, PT ASF kembali melakukan penarikan paksa kendaraan Pemohon dengan disaksikan pihak kepolisian. Atas perlakuan paksa tersebut, Pemohon menilai PT ASF telah berlindung di balik pasal yang diujikan pada perkara a quo. Padahal lagi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut berkedudukan lebih tinggi dari UU a quo. Dengan demikian, para Pemohon pun berpendapat bahwa tidak ada alasan paksa yuridis apapun bagi pihak PT ASF untuk melakukan tindakan paksa termasuk atas dasar Pasal a quo.(Sri Pujianti/LA)