JAKARTA, HUMAS MKRI - Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh menyatakan kebijakan KTP Elektronik (e-KTP) sebagai syarat untuk mencoblos bukannya tanpa alasan. Alasan utama penggunaaan e-KTP untuk mencegah pemilih ganda.
Hal ini dikatakan Zudan saat sidang uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) yang diajukan dalam dua perkara yakni Perkara Nomor 19/PUU-XVII/2019 dan 20/PUU-XVII/2019, pada Senin (25/3/2019). Para Pemohon mempermasalahkan kewajiban KTP Eletronik sebagai syarat mencoblos. Juga terkait tidak diakomodirnya daftar pemilih tambahan (DPTb).
Zudan menyatakan penggunaan e-KTP dalam rangka membangun data kependudukan tunggal. Hal tersebut sulit diwujudkan dalam penggunaan KTP biasa. “Di KTP biasa, banyak sekali data ganda. Sedangkan dalam KTP Elektronik hal ini tidak terjadi,” jelasnya selaku perwakilan Pemerintah. Penggunaan e-KTP, kata dia, untuk memastikan Pemilu Serentak nanti benar-benar berjalan lancer dengan tak ada pemilih melakukan coblos ganda.
Selain itu, Zudan menyebut kebijakan ini juga merupakan lanjutan dari Putusan MK terdahulu yang membolehkan memakai KTP untuk mencoblos. Orang yang belum tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) bisa tetap menggunakan haknya dalam pemilu. “Di sini kita memastikan proses nantinya dapat berjalan lancar. Justru karena itu kita rigidkan KTP elektronik sebagai solusinya. Bukan dengan KTP biasa,” ujarnya. Penggunaan e-KTP nantinya juga untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu pelayanan publik dalam satu sistem yang terintegrasi.
Meski demikian, Zudan tidak menutup mata dengan masih adanya problem terkait ini. Data yang dipergunakannya menyebut masih ada sekitar 4,2 juta penduduk yang belum memiliki e-KTP elektronik. “Mayoritas berada di Papua dan Papua Barat sebanyak 2 jutaan. Sisanya tersebar merata di 32 provinsi,” jelasnya.
Terkait ini, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Komisi II DPR. Dalam rapat bersama dengan DPR, disepakati e-KTP sebagai syarat bolehnya menggunakan hak pilih jika seseorang tidak masuk DPT.
“Adapun jika tidak punya memiliki KTP elektronik maka bisa memakai surat keterangan (Suket) dari dinas dukcapil. Isinya menerangkan bahwa yang bersangkutan sudah melakukan perekaman KTP Elektronik,” jelasnya. Andai, lanjut dia, jika suket juga belum ada, maka dapat dipergunakan identitas, seperti akte, paspor, maupun kartu keluarga (KK).
Secara realita, kata Zudan, sulit untuk mengejar penerbitan e-KTP bagi 4,2 juta penduduk hingga hari pencoblosan. Sejauh ini pihaknya sudah melakukan beragam upaya seperti melakukan jemput bola pembuatan e-KTP. Namun rata-rata jumlah pembuatan e-KTP baru sebatas 30 ribuan perhari.
Belum Ada Surat Suara Khusus DPTb
Sementara Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman berkomentar terkait DPTb. Hal ini bisa dimaknai dua hal, yakni pemilih tambahan berbasis wilayah atau pemilih tambahan tetap dengan lima kertas suara.
Untuk opsi pertama, kata Arief, seseorang yang memilih bukan di tempat domisili adalah tidak bisa memilih calon yang tak sesuai dengan dapilnya. “Jadi, bisa saja seseorang hanya memilih capres dan cawapres saja. Tidak bisa memilih untuk DPRD Kota/Kabupaten dan provinsi serta DPR,” ujarnya selaku Pihak Terkait.
Sementara untuk opsi kedua, kata Arief, DPTb tetap dapat memilih dengan lima kertas suara yang tersedia. Tidak melihat dapilnya. Namun sulitnya, perangkat pemilu tidak mendukung ke arah sana karena tidak memiliki surat suara khusus DPTb. “Namun secara garis besar, saya tetap berpandangan seharusnya pemilih menggunakan hak pilihnya di tempat tinggalnya. Saat dia pindah, dia kehilangan sebagian hak konstitusinya,” jelasnya.
Di akhir sidang, MK menyatakan akan memutus perkara tiga hari pasca sidang ini, yakni Kamis (28/3/2019) pukul 10.00 WIB. Sementara untuk pemberian kesimpulan dari para pihak, MK memberikan waktu hingga Selasa (26/3/2019) pukul 10.00 WIB.
Sebagaimana diketahui, Perkara dengan Nomor 20/PUU-XVII/2019 diajukan Pemohon yang terdiri dari Perludem, Hadar Nafis Gumay, Feri Amsari,Augus Hendy,A. Murogi bin Sabar, Muhamad Nurul Huda, dan Sutrisno.Para Pemohon menguji Pasal 210 ayat (1), Pasal 348 ayat (4), ayat (9), Pasal 350ayat (2), Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu. Pemohon memandang banyak penduduk dengan hak pilih yang belum memiliki KTP elektronik, serta pemilih yang baru akan 17 tahun pada saat hari H pemungutan suara tetapi tidak dapat memilih karena tidak memiliki KTP elektronik. Selain itu syarat KTP elektronik juga berpotensi menghilangkan, menghalangi atau mempersulit hak memilih bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial, warga binaan di Lapas dan Rutan, dan beberapa pemilih lain yang tidak mempunyai akses cukup untuk memenuhi syarat pembuatan KTP elektronik.
Sementara Perkara nomor 19/PUU-XVII/2019 Pemohonnya yakni Joni Iskandar dan Roni Alfiansyah. Mereka merasa dirugikan dengan berlakunya pasal 210 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2), Pasal 348 ayat (4)UU Pemilu. Pemohon mengujikan ketentuan hak pilih bagi pemilih yang pindah memilih untuk diakomodir dalam DPTb.(Arif Satriantoro/LA)