JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak serta tidak dapat menerima uji Undang-Undang Nomor 32 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Buru Selatan. Putusan Nomor 11/PUU-XVII/2019 ini dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh hakim konstitusi lainnya pada Rabu (13/3/2019). MK menilai permohonan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru sebagai Pemohon I tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan dua orang warga negara perseorangan yang tercatat sebagai Pemohon II dinilai tak memiliki kedudukan hukum. “Menolak permohonan Pemohon I untuk seluruhnya serta menyatakan permohonan Pemohon II tidak dapat diterima,” jelas Anwar.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 11/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Ramly Umasugi dan Amustofa Besan selaku Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Buru (Pemohon I), Iksan Tinggapy, A. Azis Hentihu, dan Djalil Mukadar, sebagai Ketua DPRD dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Buru (Pemohon II), Mahmud Nustelu dan Elias Behuku sebagai warga Desa Waihotong dan Desa Batu Karang (Pemohon III).
Para Pemohon mendalilkan Undang-Undang Nomor Tahun 32 Tahun 2008khususnya Pasal 2, 3 dan 4 serta Lampiran Peta Wilayah Kabupaten Buru Selatan Provinsi Maluku tidak memberikan kepastian hukum dan melahirkan multi tafsir. Secara faktual, ketidakjelasan rumusan norma dan multitafsirnya rumusan Pasal 3 ayat (2) berikut Lampiran Peta Wilayah UU 32/2008 atas kepastian wilayah administrasi telah nyata mengakibatkan kerugian bagi warga negara yang berdomisili di Desa Waehotong dan Desa Batu Karang sebagaimana yang dialami oleh Pemohon.
Kerugian konstitusional para Pemohon adalah ketidakpastian atas status batas wilayah daerah yang ditempatinya terkait status para Pemohon termasuk dalam Kabupaten Buru atau Kabupaten Buru Selatan. Menurut para Pemohon, kejelasan batas wilayah daerah sangatlah penting mengingat keperluan administrasi kependudukan seperti perpanjangan KTP ataupun mendapatkan kepastian Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam pemilu ataupun pemilukada sebagai bentuk pelayanan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah menyatakan penyelesaian perselisihan batas daerah merupakan kewenangan pemerintah. Sifatnya berjenjang, yaitu sepanjang menyangkut perselisihan batas daerah dalam satu daerah provinsi merupakan kewenangan gubernur. Sementara perselisihan batas daerah antardaerah provinsi merupakan kewenangan menteri dalam negeri.
“Maka dugaan pelanggaran hak konstitusional yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 25A, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon I, tidak relevan untuk dipertimbangkan karena ada tidaknya pelanggaran dimaksud bergantung pada penyelesaian yang dilakukan oleh gubernur, dalam hal menyangkutperselisihan batas daerah dalam satu provinsi, dan oleh menteri dalam negeri, dalam hal menyangkut perselisihan batas daerah antardaerah provinsi,” jelas Saldi.
Sementara untuk Pemohon II, Saldi menyebut Pemohon tidak memiliki kualifikasi sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang telah menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya atas kepastian hukum dengan berlakunya norma Pasal 3 ayat (2) beserta Lampiran Peta UU 32/2008. “Karena substansi permohonan a quo lebih berkaitan dengan persoalan kewenangan pemerintahan daerah, bukan langsung berkenaan dengan persoalan kerugian hak konstitusional perseorangan warga negara, menurut Mahkamah, Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo,” jelasnya.(Arif Satriantoro/LA)