TARAKAN, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) dan Universitas Borneo Tarakan menggelar Seminar Nasional yang bertajuk “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mengawal Hak-Hak Konstitusional Warga Negara di Wilayah Perbatasan Provinsi Kalimantan Utara”. Dalam acara tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan ceramah kuncinya di hadapan civitas akademika FH Universitas Borneo Tarakan pada Jumat (8/3/2019).
Wahiduddin menjelaskan pada saat ini, Undang-Undang Dasar 1945 menjadi dokumen penting dan wajib dimiliki dalam bernegara. Ia menyebut sesungguhnya makna “tertulis dan tidak tertulis” ini, tidaklah bisa diterjemahkan secara letterlijk. Konstitusi yang dimiliki oleh setiap negara didunia, lanjutnya, paling tidak memuat dua hal, yaitu jaminan perlindungan atas hak warga negara, dan hubungan antar lembaga negara yang didalamnya dimaksudkan sebagai pembatasan kekuasaan negara.
Selain itu, Wahiduddin menjelaskan hak-hak warga negara yang termuat dalam Konstitusi datang dalam istilah beragam, ada yang menyebut sebagai hak asasi manusia (human rights) atau hak konstitusional (constitutional rights). Beda antara keduanya adalah dalam hal lingkup.
“Hak konstitusioal hanya mencakup hak-hak warga negara yang diatur dalam konstitusi, karena terkadang ada konstitusi yang tidak memuat semua hak asasi manusia. Misalnya, UUD 1945 (sebelum perubahan). Hak warga negara yang diatur dalam UUD tidaklah mencakup semua hal yang didefinisikan sebagai hak asasi manusia. Setidaknya, hanya ada 6 aturan khusus yang menjamin hak-hak warga negara, baik implisit maupun eksplisit, yaitu Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya,” jelasnya di hadapan peserta yang terdiri dari mahasiswa, serta guru PKN tingkat pertama dan menengah se-Tarakan.
Perlindungan Hak Sama
Wahiduddin juga menegaskan perlindungan hak konstitusional berlaku sama untuk setiap warga negara, baik yang tinggal di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan di pulau-pulau lainnya. Sepanjang yang bersangkutan adalah warga negara Indonesia, maka perlindungan hak konstitusionalnya diperlakukan sama, tidak terkecuali juga bagi warga negara yang tinggal di perbatasan.
“Oleh karenanya, MK tidak melihat perbedaan perlakuan maupun perlindungan khusus terhadap hak-hak warga negara dengan memperhatikan letak geografis. Bahwa kemudian, pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam rangka percepatan pembangunan berkenaan dengan hak-hak warga negara di daerah perbatasan hal ini merupakan ranah kewenangan pemerintah (selaku eksekutif). MK, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, tentunya tidak dapat terlibat aktif dalam penerapan kebijakan tersebut,” terang Wahiduddin.
Namun, sambung Wahiduddin, apabila dalam penerapan kebijakan pemerintah ternyata berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara, maka MK menjalankan kewenangannya untuk melindungi dan mengembalikan hak-hak konstitusional warga negara yang terlanggar itu. “Sebagai contoh adalah perlindungan hak konstitusional warga negara yang bersinggungan dengan kebijakan pengelolaan wilayah hutan dan kawasan pesisir yang diputus oleh MK,” jelasnya.
Kemudian, Wahiduddin menegaskan segala peraturan perundang-undangan di bawah Konstitusi harus sejalan, bersesuaian, dan tidak boleh bertentangan dengan materi Konstitusi. Pelanggaran terhadap Konstitusi membuatnya hanya bernilai semantik dan tidak hidup di masyarakat. “Konstitusi, dalam bentuk formal dinyatakan berlaku tetapi dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, konstitusi hanya sekedar alat legitimasi kekuasaan politik. Hal demikian merupakan bentuk pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. Tanggung jawab inilah yang dibebankan konstitusi kepada MK untuk mengawal ide konstitusionalisme,” paparnya.
Bukan Super Body
Dalam rangka mengawal konstitusi, lanjut Wahiduddin, terutama dalam pelaksanaan kewenangan menguji UU terhadap UUD, MK sering disebut sebagai lembaga super (super body). Karena selain memiliki keleluasaan menafsirkan UUD, MK melalui putusannya dapat membatalkan sebuah undang-undang sebagai produk hukum yang dibuat secara bersama oleh DPR dan Pemerintah. Anggapan bahwa MK merupakan super body adalah anggapan yang sama sekali tidak tepat. Alasannya, konstruksi kelembagaan negara menurut UUD 1945 bukan lagi bersifat hierarkis-struktural melainkan bersifat horizontal-fungsional.
“Lembaga-lembaga negara dalam posisi yang sederajat. Kalaupun MK terkadang membuat penafsiran UUD yang memaksa MK menerobos UU dan/atau membatalkan UU, bukan disebabkan karena MK adalah super body melainkan karena memang itulah yang diamanatkan UUD 1945 kepada MK yaitu untuk menegakkan hukum dan keadilan,” ujarnya. (Hendy/LA)