JAKARTA, HUMAS MKRI – Sebanyak 125 mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (28/2/2019). Peneliti MK Titis Anindyajati menerima rombongan mahasiswa di Ruang Delegasi Gedung MK.
Titis menyampaikan materi Hukum Acara MK yang terdiri atas 12 bagian yaitu Umum; Pengajuan Permohonan; Pendaftaran Permohonan dan Penjadwalan Sidang; Alat Bukti; Pemeriksaan Pendahuluan; Pemeriksaan Persidangan; Putusan; Pengujian Undang-Undang terhadap UUD; Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya diberikan oleh UUD; Pembubaran Partai Politik; Perselisihan Hasil Pemilihan Umum; Pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dikatakan Titis, sebelum bersidang di MK, pihak berperkara mengajukan permohonan. Setelah diregistrasi dan ditentukan jadwal sidangnya, barulah digelar sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri tiga hakim konstitusi atau disebut sidang panel.
“Di sidang pendahuluan berisi nasihat-nasihat hakim, menanggapi permohonan awal, menyarankan perbaikan permohonan, menanyakan apa kerugian konstitusional Pemohon, mengoreksi kesalahan penulisan mengenai pasal dan sebagainya,” jelas Titis yang didampingi Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Bandung Dede Kania.
Berikutnya, lanjut Titis, ada sidang perbaikan permohonan. Sesudah itu perbaikan permohonan Pemohon itu dibawa ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dihadiri sembilan Hakim MK.
“Dalam RPH diputuskan apakah perkara Pemohon akan dilanjutkan atau tidak. Kalau dilanjutkan, akan ada sidang-sidang berikutnya, berupa sidang pembuktian. Misalnya mendengarkan keterangan DPR, Pemerintah, Ahli Pemohon, Ahli Pemerintah dan lainnya,” urai Titis. Selanjutnya, setelah sidang pembuktian berlanjut ke sidang pengucapan putusan.
Selain itu, Titis menjelaskan kewenangan MK, yaitu menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum.
Lebih lanjut Titis, menerangkan putusan MK terbaru. Salah satunya adalah putusan MK tentang calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pemohonnya adalah Muhammad Hafidz yang menguji Pasal 182 huruf i UU Pemilu bahwa anggota DPD tidak boleh merangkap jabatan sebagai anggota DPD dan pengurus parpol.
“Jadi harus memilih apakah sebagai anggota DPD atau pengurus parpol. Mahkamah Konstitusi kemudian memutuskan anggota DPD harus terbebas dari hegemoni parpol. Putusan tersebut menjadi hangat setelah terkait dengan kasus Oesman Sapta Odang,” ujar Titis.
Usai penyampaian materi dibuka sesi tanya jawab. Salah seorang mahasiswa menanyakan soal menjaga independensi hakim konstitusi. Dijelaskan Titis, hakim itu harus independen dan imparsial. Demi menjaga independensi hakim, secara internal MK sudah menerapkan beberapa langkah. Misalnya bekerja sama dengan KPK, menyelenggarakan seminar, pelatihan pencegahan korupsi dan sebagainya.
“Tetapi untuk pribadi hakim itu sendiri hanya hakim itu sendiri yang bisa menjaga independensinya. Selain itu ada Dewan Etik yang terdiri atas perwakilan masyarakat, mantan Hakim MK dan akademisi untuk menjaga independensi Hakim MK. Fungsi Dewan Etik, menerima laporan-laporan masyarakat mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan Hakim MK,” tandas Titis. (Nano Tresna Arfana/LA)